sumber : milis sehat
sumber : Dari Majalah “PESONA” Maret 2010, Halaman 80 — 82
Ia mendidik pasiennya agar mengubah gaya hidup. Prinsipnya, pasien harus
punya otonomi terhadap tubuh sendiri.
Cobalah berkunjung ke klinik dr. Tan Shot Yen diwilayah Bumi Serpong Damai
pada pukul 11 dihari kerja. Anda akan melihat dr. Tan menghadapi beberapa
pasien. Sekilas, Anda mungkin berpikir dokter sedang marah-marah. Padahal ia
sedang menjelaskan tentang gaya hidup sehat pada pasien barunya. Pasalnya,
memang begitu gaya dr. Tan, menjelaskan dengan suara keras. Bila kita simak
ucapannya, semua yang dijelaskannya sangat penting dan membukakan mata.
[image: []]
“Kesalahan pasien dalam berobat hanyalah mencari tahu ‘bagaimana’. Bagaimana
caranya menurunkan tensi, menurunkan kadar gula, menguruskan badan,
menghilangkan senewen atau sakit di jemari. Jika Anda Cuma tanya
‘bagaimana’, Anda akan jatuh menjadi sekadar konsumen. Pertanyaan terpenting
adalah mengapa Anda sampai sakit?” urainya.
Wanita 45 tahun ini memang tak mau punya pasien yang yang mengharapkan pil
atau tongkat ajaib untuk membereskan tubuhnya. “Saya mau pasien yang taking
ownership of their own body. Itu badan anda. Buat apa dokter yang sok tahu
menyuruh ini-itu? Yang benar buat dokter belum tentu benar buat Anda.” Wah,
dokter yang satu ini tampaknya memang lain dari yang lain.
*Mendorong Gaya Hidup Sehat
*Perbedaan mencolok dr. Tan dibanding dokter lain pada umumnya adalah ia
tidak mudah memberi obat. Rata-rata pasien yang keluar dari ruang prakteknya
tidak menggenggam resep. Kalaupun ada resep, biasanya hanya vaitamin dan
omega-3, tergantung kondisi pasien.
“Sampai kapan seseorang mau tergantung pada obat-obatan? Apakah setelah
mengonsumsi obat dia benar-benar sembuh? Jawabannya tidak. Karena begitu
obat berhenti, dia sakit lagi. Berapa banyak dokter hanya bertanya ‘sakit
apa’ lalu berkata ‘ini obatnya’? Dia tidak memberikan pendidikan atau
menjelaskanasal usul penyakit. Pasien juga bego, padahal dia harusnya
memahami perannya dalam menciptakan penyakitnya,” jelas dr. Tan.
Sebagai ganti resep, dr. Tan memberikan pencerahan tentang gaya hidup sehat
yang harus dijalani setiap orang. „Saya yakin semua dokter tahu bahwa
diabetes, stroke, dan kanker adalah penyakit gaya hidup. Tapi pertanyaannya,
seberapa jauh seorang dokter mau fight untuk memperbaiki gaya hidup
pasiennya? Karena, penanganan pertama pasien seharusnya perubahan gaya
hidup. Bila gagal, baru obat-obatan boleh dicoba.”
Dr. Tan mencontohkan, pasien yang sakit lutut akan disuruh minum obat,
dioperasi, atau diganti tempurung lututnya. Padahal, titik beratnya adalah
bobot tubuhnya. Jika si Pasien mengubah pola makan dan gaya hidup, berat
badannya susut dan keluhan lututnya akan hilang. “Ibaratnya, mobil Mercedes
pasti turun mesin kalau diisi bensin bajaj. Coba ganti dengan bensin super,
pasti larinya kencang.”
Perubahan pola makan yang dianjurkan dr. Tan mungkin terdengar ekstrem. Ia
mengimbau pasiennya untuk berhenti mengonsumsi gula, terigu, nasi, dan pati
(singkong, kentang, ubi, jagung, taloas). Pasalnya, di dalam tubuh, jenis
makanan ini akan diproses 100% menjadi gula dalam waktu dua jam. Benar,
manusia butuh gula untuk energi. Tapi kenaikan kadar gula darah akibat empat
jenis makanan ini sangat cepat, mengakibatkan insulin melonjak untuk menekan
kenaikannya. Bersama insulin, keluar pula hormon eicosanoid buruk.
Akibatnya, pembuluh darah menyempit, darah kental, daya tahan buruk, tubuh
‘memelihara’ bakteri, jamur, kista, tumor, dan kanker, serta timbul nyeri.
Sebagai ganti nasi, ia meresepkan: satu ikat selada mentah atau dua cangkir
brokoli setengah matang, 2 putih telur rebus, 2 tomat, 2 mentimun, setengah
avokad, apel, atau pear. Dengan makanan ini, tak ada sisa gula yang
tersimpan menjadi lemak. Kadar gula darah sebelum dan sesudah makan pun
rata-rata sama. Dan, hormon eicosanoid buruk takkan keluar sehingga tak
mengundang penyakit. ‘Menu’ ini perlu dilengkapi lauk-pauk yang diolah
dengan berbagai cara, asal tidak ditumis atau digoreng.
“Kita makan sayur bukan hanya demi seratnya. Sayur mentah mengandung enzim
dengan life force energy yang penting buat tubuh. Inilah pola makan asal
yang sesuai fitrah manusia. Siapa bilang tidak makan nasi jadi lemas? Nenek
moyang kita makan sayur dan buah tapi mereka kuat mendaki gunung danm
berburu.”
*Sakit adalah Introspeksi
*Hal lain yang menarik dari dr. Tan adalah gelar M. Hum. Gelar itu didapat
setelah ia mengambil pascasarjana filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat
Driyarkara, Jakarta, tahun lalu. Menurutnya, kuliah S2 filsafat membuatnya
memahami manusia secara mendalam dan holistic. Ia juga jadi mengerti ‘dosa
ilmu kedokteran’ tentang mekanisasi tubuh manusia.
“Akibat perkembangan ilmu kedokteran – terutama seteloah ditemukannya alat
pacu dan cangkok jantung, tubuh manusia yang tadinya holistic lalu
dipecah-pecah. Kalau kepala sakit yang diobati, ya kepala saja. Kita
terlepas dari tubuh, emosi dan kecerdasan spiritual. Tubuh manusia hanya
jadi seperangkat mesin. Kalau ada yang salah, kita pergi kebengkel. Dan,
rumah sakitlah bengkel terbesarnya. Betul, badan manusia terlalu kompleks
untuk dipegang satu ahli saja. Manusia boleh dipegang b eberapa ahli, asal
mereka sama-sama sadar bahwa manusia diciptakan Tuhan. Masalahnya, dokter
punya arogansi profesi. Seorang dokter biasanya susah dibilangin dan selalu
merasa benar,” tuturnya lugas.
Dr. Tan juga menyanyangkan bila manusia zaman sekarang mati-matian melawan
dan menolak sakit. Padahal, sakiat adalah jalan untuk lebih memahami bahwa
manusia atak selamanya diposisi atas.
“Sakit adalah introspeksi. Ketika sakit, saya berhenti dan menoleh
kebelakang. Apa yang ‘jalan’ dan ‘nggak jalan’ selama ini? Nah, menjadi
sembuh adalah keberhasilan introspeksi dan menemukan cara untuk lebih maju
lagi. Tapi bagaimana pasien bisa introspeksi bila tak dibimbing menemukan
kesembuhannya dan hanya dininabobokan oleh obat? Dunia yang mati rasa dan
tak mau mengalami sakit adalah dunia yang melarikan diri, mengingkari diri
sendiri,” lanjutnya.
Menurut dr. Tan, kita memasuki era kebablasan mengonsumsi obat. Akhirnya,
obat dijadikan demand. Setelah demand melambung tinggi, masyarakat digenjot
untuk mendapatkan penghasilan lebih yang tak perlu demi obat. Lihatlah
berapa banyak orang yang harus berusaha mati-matian demi kep-erluan berobat
salah satu anggota keluarga.
*Selalu Ingin Jadi Dokter
*Dr. Tan Shot Yen lahir di Beijing, 17 September 1964 dan dibesarkan di
Jakarta. Ia kuliah di Fakultas Kedokteran Universistas Tarumanegara dan
lulus Profesi Kedokteran Negara FKUI pada tahun 1991. Sebagai siswi yang
selalu mendapat nilai cemerlang dalam ilmu eksakta, menjadi dokter merupakan
impiannya sejak dulu. Baginya, dibidang kedokteran, cara pikirnya yang
eksakta bisa menemukan ‘kemanusiaannya’. Dalam diri pasien, ia menemukan
benang merah antara fisik, emosi dan spiritual.
Ketika baru menjadi dokter, saya juga ngaco. Sekadar memberi obat pada
pasien. Lama-lama saya pikir saya cuma perpanjangan pabrik obat,” kenangnya.
Lalu ia pelan-pelan lebih menggunakan gaya hidup sehat. Perubahan ini dipicu
oleh ayahnya, *dr. Tan Tjiauw Liat*, tokoh inspiratif yang membuatnya maju
untuk melihat apa sebenarnya kebutuhan manusia.
Melihat begitu berapi-apinya dr. Tan saat memberikan p-encerahan gaya hidup
pada pasien, siapapun mungkin akan b ertanya ‘apa tidak capek?’. “Lebih
capek mana dibandingkan dokter yang ditunggangi perusahaan obat dan makanan?
Saya mendapat energi bila melihat pasien sembuh. Mereka memegang kendali
atas hidup mereka, tidak dibohongin dokter, dan tidak tergantung obat,”
jawabnya.
Dr. Tan mengakui, sepak terjangnya kerap dipandang sebelah mata oleh
koleganya. “Ada yang bilang saya idealis, bahkan mission impossible. Tapi
saya yakin, dalam hati kecil mereka mengatakan bahwa perubahan gaya hiduplah
jawabannya. Masalahnya, mereka sendiri tidak menjalani gaya hidup itu. Ini
membuat saya sebal. Kalau mereka merasa tidak bisa menjalani gaya hidup
sehat, jangan mengecilkan pasien dengan menganggap pasien juga takkan bisa.
Pasien yang sudah parah dikasih obat apapun pasti mau. Apalagi Cuma disuruh
Apalagi Cuma disuruh ganti nasi dengan sayur.”
[image: []]
*Keluarga terpengaruh
*Pola makan asal yang meniadakan gula, trigu, nasi, pati dan susu yang
dijalani dr. Tan juga dilakukan oleh suami – Henry Remanleh – dan anak
tunggalnya, Cilla. Menurut dr. Tan, mereka tidak menjalaninya karena
terpaksa, tapi karena merasakan manfaatnya. “Putri saya 17 tahun, kadang
terpengaruh pola makan temannya. Dia lalu mengeluh susah konsentrasi atau
pencernaannya terganggu. Setelah itu dia back on track. Dia sudah
meengonsumsi raw food sejak SMP atas pilihan sendiri. Anak itu mencontoh
orang tuanya. Jangan harap anak makan dengan baik kalau Anda sendiri
amburadul.”
Suaminya, Henry, adalah kinesiologis yang berkutat dengan masalah gerak dan
pengaruhnya terhadap aspek kehidupan manusia. Henry juga instruktur brain
gym. Ia berpraktek didtempat yang sama. Dr. Tan sangat menghargai pekerjaan
suaminya karena memberdayakan masyarakat. “Brain gym terbukti bisa
meningkatkan konsentrasi. Dengan pola makan sehat sejak kecil dan gerakan
olahraga terstruktur, Anda tak perlu lagi minum obat,” katanyaa tegas.
Selain sibuk berpraktik dan menjadi pembicara talkshow, dr. Tan menjadi
contributor untuk taboid dan majalah kesehatan. Selain itu, ia mengisi
waktunya dengan membaca dan membuka jalur continuing medical education
melalui internet. Karena itu, info dan data jurnal ilmiahnya selalu up to
date – disamping buku-buku terbaru pemberian ayahnya.
Ia menjalani pilates, terkadang berenang, dan sesekali bermain piano. Kini
ia sedang mengumpulkan kisah-kisah kamar paraktek untuk dijadikan tulisan
imnspiratif agar para dokter memandang pasien lebih dari sekumpulan
diagnosis.
Wah, sepertinya semangat dalam tubuh mungil ini seolah melonjak-lonjak dan
tak pernah padam. Maju terus dr. Tan!