sumber : http://kesehatan.kompas.com/read/2010/04/30/10100668/Salah.Kaprah.Obat.Generik.
*JAKARTA, KOMPAS.com -* Wajah Eko (33) tampak muram siang itu. Sorot
matanya yang kosong menatap sebuah poster yang menempel di dinding
apotik sebuah rumah sakit swasta di kawasan Jakarta Selatan.
Eko kebingungan karena harus menebus obat senilai ratusan ribu rupiah
untuk menyembuhkan sakit herpes yang dideritanya. Ayah dua anak itu tak
menyangka kalau harga obat yang harus ditebusnya di apotik bisa semahal
itu.
Usut punya usut, dokter ternyata meresepkan obat paten untuk
penyakitnya. Eko tidak paham kalau ia sebenarnya dapat meminta dokter
atau apoteker untuk mengganti resepnya dengan obat generik tanpa merek
yang harganya relatif jauh lebih terjangkau.
“Saya kira resep dokter tak bisa diutak-atik lagi alias harga mati buat
kesembuhan penyakit saya,” ungkap karyawan swasta di kawasan Palmerah itu.
Jika faktor biaya menjadi pertimbangan utama Eko, tidak demikian halnya
dengan pasien lain bernama Angga (34). Ia mengaku tak keberatan dengan
keputusan dokter meresepkan obat paten demi khasiat “ces pleng” yang
selama ini diyakininya. Kalau pun harus memilih, Angga mengaku tetap
menolak diberikan resep obat generik karena khawatir sakitnya akan lebih
lama.
“Saya agak ragu dengan obat generik karena sembuhnya suka lama. Walau
harus keluar kocek lebih mahal, obat paten memberi saya jaminan cepat
sembuh,” ujar lelaki yang berprofesi sebagai wartawan ini.
Potret masyarakat tentang penggunaan obat di atas adalah bukti masih
terjadinya distorsi informasi tentang obat generik dan obat paten
(originator) di masyarakat. Akibat mitos yang kadung melekat, masyarakat
kurang yakin dengan obat generik karena harganya yang murah, tak
bergengsi serta diragukan khasiat dan kemanfaatannya. Di lain pihak, tak
sedikit masyarakat yang kesulitan membeli obat karena harganya sangat mahal.
Menurut guru besar Farmakologi Universitas Indonesia, Prof Arini
Setiawati, PhD, distorsi ini sebenarnya tidak perlu terjadi bila
masyarakat benar-benar memahami benar informasi tentang obat generik dan
obat originator.
Arini menjelaskan, obat generik tak perlu diragukan khasiatnya karena
secara teori memiliki persamaan dengan obat originator dalam hal zat
aktif, dosis, indikasi dan bentuk sediaan.
“Obat generik adalah obat yang meng/copy/ obat originator dan diberi
nama generik. Dengan begitu, obat ini memberikan efikasi dan keamanan
yang sama,” ujarnya pada media forum yang diselenggarakan Sanofi-Aventis
di Jakarta akhir Maret lalu.
Obat generik, lanjut Arini, harganya memang lebih murah ketimbang obat
paten. Tetapi, bukan dikarenakan mutu atau efikasinya rendah. Obat
generik tak memerlukan biaya riset dan pengembangan yang mahal seperti
halnya obat originator atau paten.
“Yang diperlukan hanyalah riset untuk membuat formulasi agar dapat
setara dengan obat originator sehingga dapat dijual dengan harga murah,”
ujar anggota tetap Komisi Nasional Penilai Efikasi dan Keamanan Obat
Jadi/Obat Modern di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) ini.
Obat paten, terang Arini, sangat wajar bila harganya mahal karena biaya
yang dibutuhkan untuk risetnya mencapai 900 juta dollar (hampir Rp 900
miliar) hingga 1,8 juta miliar dollar AS. Selain itu, ekslusivitas obat
paten ini terbilang relatif singkat. Walaupun diberikan perlidungan
paten bekisar antara 17 hingga 20 tahun, tapi kesempatan untuk
dipasarkan sebagai obat paten sekitar lima tahun saja.
“Oleh sebab itu harganya mahal karena harus menutup biaya pengembangan
tersebut dalam waktu yang relatif singkat,” ujarnya.
Arini menambahkan, masyarakat Indonesia sudah saatnya mengubah pola
pikir tentang obat generik dan paten. Pasalnya, di negara-negara maju
seperti Amerika Serikat, masyarakat sudah semakin terbiasa menggunakan
obat generik.
Buktinya, peresepan obat generik terus mengalami peningkatan dari tahun
ke tahun. Data IMS Health National Prescription Audit (NPA) menyebutkan,
peresepan obat generik di AS yang hanya 19 persen pada tahun 1984 telah
meningkat pesat pada 2007 menjadi 67 persen.
*Salah kaprah*
Obat generik, lanjut Arini, saat ini dipasarkan di Indonesia dalam dua
jenis yakni dengan menggunakan nama generiknya dan memakai merek dagang.
Salah satu jenis yang dijual dengan nama generiknya adalah obat generik
berlogo (OGB) yang merupakan program pemerintah. OGB dapat dikenali
dengan logo lingkaran hijau bergaris-garis putih dengan tulisan
“Generik” di tengah lingkaran.
Sementara itu satu jenis lainnya yakni obat generik bermerek justru
tidak diperlakukan sebagai obat generik. Dengan kemasan lebih menarik
memakai nama dagang tanpa mencantumkan logo, harga obat bermerek ini
jauh lebih mahal dibanding obat generik tanpa merek, padahal kandungan
zat aktifnya sama.
Alhasil, fenomena ini menjadikan obat generik bermerek seakan-akan
‘diposisikan’ sama seperti obat paten. Salah kaprah terhadap obat
generik bermerek ini pun tidak terelakkan.
Diakui Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI),
Marius Widjajarta, praktik salah kaprah obat generik menjadi masalah
dalam pelayanan kesehatan di Indonesia. Betapa tidak, obat generik
bermerek yang kandungannya tak jauh berbeda dengan obat tanpa merek
dijual dengan harga tidak rasional.
“Bahkan ada yang bisa sampai 200 kali dari harga asli obat generik tanpa
merek,” ujar Marius.
Padahal, hampir 70 persen obat yang beredar di Indonesia saat ini adalah
obat generik bermerek. Sedangkan sisanya adalah obat paten dan obat
generik tanpa merek. Peredaran obat paten di Indonesia, kata Marius,
tidak banyak yakni hanya sekitar 7 persen saja. Obat-obat paten ini
contohnya adalah obat untuk HIV/AIDS, obat-obat kanker dan flu burung.
“Yang lain itu paten-patenan. Yang lebih kejam, tak sedikit oknum dokter
yang meresepkan obat generik bermerek kepada pasien, tetapi menyebut
obat tersebut sebagai obat paten. Padahal jelas, itu melanggar etika
profesi kedokteran,” ujar Marius.
*Benang kusut*
Marius yang juga anggota Tim Rasionalisasi Harga Obat Generik Nasional
di Kementerian Kesehatan menilai masalah obat generik adalah benang
kusut yang tak pernah selesai dari tahun ke tahun.
Rumitnya masalah pengaturan obat generik di Indonesia adalah akibat
ketidaktegasan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan,
menegakkan kebijakan soal peredaran obat generik bermerek. Harga obat
generik sebenarnya telah diatur melalui Keputusan Menteri Kesehatan,
tetapi anehnya, peraturan ini hanya diterapkan pada obat generik tanpa
merek saja.
“Di sinilah benang kusutnya, yang liar adalah obat generik bermerek,
yang tak mau tunduk pada peraturan itu. Pemerintah dalam hal ini Dirjen
Bina Kefarmasian tidak ada niatan untuk menetapkan harga obat generik
bermerek,” ujar Marius.
Kalaupun Menkes telah membuat peraturan baru yang mewajibkan seluruh
dokter di layanan kesehatan pemerintah mewajibkan peresepan obat
generik, peraturan itu diyakini Marius tidak akan berjalan efektif.
Peran apoteker sebagai profesi yang terlibat secara langsung memberikan
pelayanan di bidang kefarmasian pun belum bisa diharapkan.
Senada dengan Marius, Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Priyo
Sidipratomo, manilai karut marutnya masalah obat generik lebih
disebabkan karena lemahnya penegakkan peraturan tata niaga farmasi.
Sementara profesi dokter pun tak bisa sepenuhnya disalahkan karena
mereka kerap mengalami masalah dan keterbatasan di lapangan. Masalah
peresepan obat generik, kata Priyo, biasanya muncul ketika dokter
dihadapkan pada kendala kekosongan stok obat. Karena obat generik tanpa
merek langka, dokter akhirnya beralih pada obat generik bermerek atau
obat paten.
Namun Priyo pun tak mengelak bila ada segelintir oknum dokter yang
bertindak melawan etika profesi. “Dokter-dokter yang disponsori itu
jelas tidak etis, berlawanan dengan etika. Namun itu hanya terjadi di
kota-kota besar, di kota kecil sangat jarang,” ungkapnya
Salah satu solusi yang dapat mengatasi masalah ini, lanjut Priyo, adalah
penerapan sistem asuransi kesehatan secara universal sebagai jalan
keluar mengatasi pembiayaan kesehatan di Indonesia.
“Dalam dunia kedokteran, itu tidak bisa dibersihkan 100 persen, kecuali
dengan asuransi kesehatan. Dokter yang baik hanya akan lahir dalam
sistem pelayanan kesehatan yang baik. Jadi intinya harus ada sistem
yang baik,” terangnya.
*Hak pasien
*Demi kemaslahatan, Priyo tak lupa pun berpesan agar pasien selalu
membiasakan diri meminta resep obat generik setiap kali datang berobat
ke dokter. “Sampaikan saja, karena ini adalah hak setiap pasien,” ujarnya.
Ia pun meyakinkan bahwa di mata para dokter, citra obat generik
sebenarnya tidak pernah luntur. “Pandangan para dokter tentang obat
generik sejauh ini bagus. Tidak ada masalah dari sisi efikasi dan
khasiatnya. Bahkan di semua institusi milik pemerintah, para dokter
sudah diwajibkan meresepkan obat generik,” ujar Priyo.