NONTON TIVI: Tak Cukup Hanya Berbekal Mata .
Published July 20th, 2007 Uncategorized 0 Comments
Coba simak data-data berikut ini. Dalam seminggu, anak-anak di Indonesia menonton televisi selama 30-35 jam, atau 1560-1820 jam setahun. Angka ini jauh lebih besar ketimbang jumlah jam belajar di sekolah dasar yang tak lebih dari 1000 jam/tahun. Maka, ketika seorang anak menginjak usia SMP, dia sudah menyaksikan televisi selama 15.000 jam. Sementara, waktu yang dihabiskannya untuk belajar tak lebih dari 11.000 jam saja (Nielsen Index). Kesimpulannya, lebih banyak waktu dihabiskan untuk nonton tivi daripada belajar! Kidia, sebuah lembaga riset dan advokasi media anak mencatat, saat ini jumlah acara TV untuk anak usia prasekolah dan sekolah dasar mencapai 80 judul setiap minggu, yang ditayangkan dalam 300 kali penayangan selama 170 jam. Padahal, dalam seminggu ada 24 jam x 7 = 168 jam! Artinya, porsi tayangan program anak di televisi sudah berlebihan, melebihi jumlah jam dalam setiap minggu. Bisa dibayangkan betapa banyaknya program televisi yang membombardir anak-anak. Padahal, dari sekian banyak program televisi, hanya 15 persen saja yang dikonsumsi anak-anak.
Masalahnya, kalau acara televisi yang aman dikonsumsi oleh anak-anak jumlahnya hanya 15 persen, maka bagaimana dengan sisanya? Lalu, bicara riil saja, apa saja sih yang ditonton oleh sekitar 60 juta anak Indonesia yang menghabiskan waktu selama berjam-jam hampir sepanjang hari di depan televisi? Guntarto, aktivis media mengungkapkan, anak-anak menonton apa saja karena kebanyakan keluarga tidak memberi batasan menonton yang jelas. Mulai dari acara gosip selebritis, berita kriminal yang berdarah-darah, sinetron remaja yang permisif dan penuh kekerasan, intrik, mistis, amoral, film dewasa yang diputar dari pagi hingga malam, penampilan grup musik berpakaian seksi dengan lirik orang dewasa yang tidak mendidik, sinetron berbungkus agama yang banyak menampilkan rekaan azab, hantu, iblis, siluman, dan seterusnya. Acara-acara semacam itu sama sekali jauh dari definisi ‘aman’ bagi anak-anak karena masih mengandung, atau bahkan sarat dengan adegan kekerasan, seks, dan mistis. Sebuah program tivi dinyatakan aman karena kekuatan ceritanya: sederhana, dan mudah dipahami. Anak-anak boleh menonton tanpa didampingi. Dan, jangan lupa, mengandung nilai-nilai positif yang bisa ditransfer kepada anak-anak.
Apa yang terjadi ketika anak-anak diterpa oleh program televisi yang tidak aman dikonsumsi mereka? Hasil kajian efek di manapun memperlihatkan bahwa televisi punya pengaruh pada khalayaknya. Mulai dari desensitisasi atau penumpulan kepekaan sampai fear effect, efek rasa takut nan berlebihan. Yang tadinya takut lihat darah dan kekerasan, misalnya, berubah menjadi permisif terhadap kekerasan ketika sering diterpa oleh acara-acara bertema kriminalitas. Berita penangkapan maling ayam jadi kurang seru rasanya kalau tidak disertai liputan tentang bagaimana masyarakat menghakimi sang maling sampai terkencing-kencing, berdarah-darah. Inilah desensitisasi kekerasan. Efek lain: yang tadinya menganggap dunia ini biasa-biasa saja, gara-gara acap nonton acara bertema kekerasan, menganggap bahwa dunia ini luarbiasa mengerikan karena kejahatan ada di mana-mana. Golongan khalayak yang terkena efek semacam ini jadi paranoid terhadap realitas, sampai takut ke luar rumah. Fear effect. Kita belum lagi bicara soal pergeseran budaya, kekerasan verbal, dan model solusi yang dicomot begitu saja oleh khalayak berdasarkan apa yang mereka lihat di televisi. Kasus bunuh diri anak atau kekerasan seksual yang dilakukan anak-anak, misalnya, kuat pula disinyalir akibat pengaruh media audiovisual seperti televisi. “Belakangan ini, banyak orangtua mengajukan komplain karena sinetron remaja seperti Heart memperlihatkan bagaimana anak-anak sudah mengenal dunia pacaran lengkap dengan intrik dan cemburu-cemburuan,” tutur Atie Rachmiatie, anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Propinsi Jawa Barat, yang bertugas menerima dan memproses keluhan masyarakat seputar program penyiaran. Kenyataan seperti ini jelas-jelas memprihatinkan, dan mencengangkan. Tapi, ini bukan masalah khas Indonesia.
Di manapun, program televisi yang dikelola oleh industri berwatak kapitalis yang hanya berpikir bagaimana mencari keuntungan semata, senantiasa menimbulkan persoalan. Maka, pada awal dekade 1990-an, para pengamat media kemudian melontarkan gagasan untuk melakukan sejenis aktivisme yang bergerak di tataran publik. Lahirlah gerakan media literacy, yaitu sebuah gerakan mendidik publik agar mampu menghadapi media massa secara bijak dan cerdas. Bijak, artinya mampu memanfaatkan media massa sesuai dengan keperluannya. Cerdas, artinya mampu memilih dan memilah ragam informasi yang memang diperlukan. Tahu mana yang penting, dan mana yang tidak penting atau bahkan berbahaya bagi dirinya maupun lingkungannya. Media literacy dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai keberaksaraan media atau melek media. Konsep ini merujuk pada kemampuan khalayak untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan mengkreasi pesan-pesan melalui media dalam berbagai konteks (Livingstone, 2003). Dalam suatu masyarakat media seperti kita sekarang ini, di mana kontak dengan media menjadi sesuatu yang esensial dan tak terhindarkan, media literacy merupakan sejenis ketrampilan yang diperlukan oleh khalayak guna berinteraksi selayaknya dengan media, dan menggunakan media dengan rasa percaya diri. Ketrampilan- ketrampilan ini sesungguhnya dianggap penting bagi siapa saja. Namun target utama media literacy adalah kaum muda dan anak-anak. Maklum, mereka tengah berada dalam proses peneguhan mental dan fisik.
Bagaimana penerapan media literacy di lapangan? Bagaimana mendidik masyarakat agar melek media? Banyak cara yang telah dilakukan oleh para aktivis media literacy. Beberapa aktivis di Amerika Serikat bekerjasama dengan sekolah-sekolah merancang model kelas dan pembelajaran berbasis media. Siswa-siswa diajari untuk melihat bahwa ada banyak hal yang bisa diperoleh di media jika teknologi informasi digunakan dengan benar. Di Jepang, para aktivis media literacy bahkan bergerak lebih jauh lagi. Mereka berhasil menjalin kerjasama dengan Kementerian Pendidikan untuk merancang dan memberlakukan kurikulum yang memasukkan prinsip-prinsip media literacy ke dalam kelas-kelas sekolah dasar, bahkan TK dan kelompok bermain. Gerakan media literacy di Eropa juga tak kalah dahsyat. Para aktivisnya membuat semacam indikator kultural untuk menilai kualitas program guna menandingi sistem rating yang selama ini disebut-sebut sebagai biang keladi buruknya acara televisi. Mereka juga berhasil memaksa pemerintah dan industri untuk memperhitungkan indikator kultural tersebut guna menimbang kualitas sebuah program televisi-dan aman tidaknya dikonsumsi masyarakat terutama pada rentang prime time. Gerakan penyadaran juga dilakukan lewat aksi-aksi seperti Turn Off TV Week yang digagas Adbuster, dan sudah mendunia selama beberapa tahun terakhir. Lewat aksi mematikan televisi atau tidak menonton televisi selama seminggu (lazimnya jatuh di bulan April), aksi ini bermaksud memberi pesan kuat kepada industri penyiaran bahwa masyarakat, andai bersatu, bisa menuntut haknya mendapatkan yang terbaik bagi dirinya dari televisi-bukankah stasiun televisi sudah menjual kepala penontonnya kepada media buyer di biro-biro periklanan agar bisa menjual airtime dengan harga tinggi bagi pengiklan? Kepada khalayak sendiri, aksi semacam ini bermaksud memunculkan kesadaran bahwa menonton televisi itu hanyalah satu dari sekian banyak pilihan untuk mengisi hidup. Masih banyak kok aktivitas lain yang bisa dilakukan, barangkali malah jauh lebih produktif, tanpa harus berkutat terus di depan televisi.
Santi Indra Astuti
Hari Tanpa TV – Sebuah Gerakan Menciptakan Masyarakat dan Industri Penyiaran yang Sehat
Published June 29th, 2007 Uncategorized
A. Pengantar: Mengapa harus ada Hari Tanpa TV?
Sekitar 60 juta anak Indonesia menonton TV selama berjam-jam hampir sepanjang hari. Anak-anak menonton apa saja karena kebanyakan keluarga tidak memberi batasan menonton yang jelas. Mulai dari acara gosip selebritis, berita kriminal yang berdarah-darah, sinetron remaja yang permisif dan penuh kekerasan, intriks, mistis, amoral, film dewasa yang diputar dari pagi hingga malam, penampilan grup musik berpakaian seksi dengan lirik orang dewasa yang tidak mendidik, sinetron berbungkus agama yang banyak menampilkan rekaan azab, hantu, iblis, siluman, dan seterusnya. Bahkan, acara anak pun dipenuhi oleh adegan yang tidak aman dan tidak pantas ditonton anak (Kompas, Juli 2006).
Bayangkan, kalau anak-anak kita adalah salah satu dari mereka yang tiap hari harus menelan acara TV yang tidak mendidik. Anak-anak bisa kehilangan kepolosan dan keceriaannya, tersempitkan persepsinya dalam dunia orang dewasa yang penuh intrik, mengimitasi budaya instan dan perilaku antisosial, dan lain-lain.
Kita semua prihatin dengan kondisi ini. Di satu sisi, kita membutuhkan televisi sebagai sarana informasi dan komunikasi, di sisi lain, kita melihat televisi berkembang menjadi industri penyiaran yang gagal menyediakan alternatif program yang mencerdaskan penontonnya. Sayangnya, keprihatinan itu baru sebatas wacana. Diperlukan aksi yang lebih konkret untuk mengubah wacana keprihatinan menjadi sesuatu yang benar-benar nyata, sehingga upaya menciptakan khalayak yang cerdas dan industri penyiaran yang sehat, dapat terwujud. Untuk itulah, sejumlah pemerhati dan aktivis media berencana menyelenggarakan kembali Aksi “Hari Tanpa TV,” yang secara serempak akan diselenggarakan di 5 kota: Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Makasar.
Aksi “Hari Tanpa TV” di Bandung ditangani oleh kami-Bandung School of Communication Studies (Bascomms). Melalui Aksi “Hari Tanpa TV”, kami bermaksud mengajak khalayak untuk tidak menyalakan televisi selama sehari, pada hari Minggu 22 Juli 2007. Aksi ini memiliki dua tujuan bagi dua sasaran yang berbeda. Pertama, bagi masyarakat, aksi ini bertujuan untuk membentuk dan meningkatkan kesadaran kritis masyarakat terhadap tayangan televisi yang tidak mencerdaskan. Menimbulkan semacam awareness agar mengkritisi tayangan televisi, sekaligus memperlihatkan bahwa masyarakat punya pilihan untuk mematikan televisi, jika tidak diperoleh alternatif tayangan lain yang aman ditonton. Selain itu, aksi ini juga ingin mengingatkan masyarakat bahwa masih banyak terdapat pilihan lain yang jauh lebih bermanfaat untuk mengisi waktu daripada sekadar menonton TV. Kedua, bagi industri penyiaran, aksi ini bertujuan memperlihatkan bentuk keprihatinan masyarakat terhadap tayangan TV yang tidak aman dan tidak bersahabat bagi anak maupun keluarga. Lewat aksi bersama, yaitu mematikan televisi pada hari yang ditetapkan, kami ingin memperlihatkan bahwa anggota masyarakat dapat bersatu dalam menyikapi perilaku industri televisi yang tidak berpihak bagi kepentingan publik. Aksi “Hari Tanpa TV”, karenanya, merupakan strong message bagi industri penyiaran agar memperbaiki kualitas tayangannya, dan memperhatikan kepentingan khalayaknya.
Melalui gerakan ini, kami sama sekali tidak bermaksud mengajak masyarakat untuk memusuhi televisi. Mengkritisi televisi tidak lain merupakan sebuah upaya yang bisa kita lakukan bersama-sama untuk menjadikan dunia penyiaran sebagai industri yang sehat dan beretika, serta didukung oleh khalayak yang cerdas. Tepatnya, aksi ini merupakan rangkaian dari upaya penguatan bagi televisi Indonesia sendiri, beserta khalayaknya. Keberhasilan gerakan ini jelas tercermin dari dukungan yang Anda berikan. Karena itu, kami mengajak Anda untuk turut berpartisipasi dan memberi kontribusi bagi rangkaian kegiatan yang akan kami selenggarakan.
B. Rangkaian Aksi “Hari Tanpa TV”
1. Mini Seminar “Sehari Tanpa TV”
Seminar diselenggarakan pada hari Sabtu, 21 Juli 2007 pk. 9-12 WIB. Dalam seminar ini, kami hendak mendiseminasikan prinsip-prinsip media literacy sambil menginformasikan alternatif kegiatan yang bisa dilakukan ketika tidak menonton TV. Mini seminar ini gratis, diperuntukkan bagi orangtua yang berminat, sekitar 100-an. Pembicara terdiri dari media expert, psikolog, dan teman-teman dari sanggar bermain alternatif. Dalam mini seminar ini juga akan disosialisasikan rencana aksi Hari Tanpa TV, yang sekaligus dijadikan momen jumpa pers untuk teman-teman wartawan lokal dari media cetak maupun media elektronik.
2. Workshop Remaja: “Bedah Iklan Secara Kritis”.Sasarannya adalah siswa SMP dan SMA, yang akan diselenggarakan pada hari Kamis, 19 Juli 2007. Workshop dibagi menjadi dua sesi, Sesi I: pukul 09.00-12.00 WIB untuk mahasiswa, dan Sesi II: pukul 14.00-17.00 WIB untuk pelajar (SMP/SMA).
3. Sosialisasi “Hari Tanpa TV” ke sekolah wilayah Bandung berupa penyebaran kit “Hari Tanpa TV” (terdiri dari campaign material dan lembar dukungan), mulai Senin 16 Juli s.d. Kamis, 19 Juli 2007.
4. Aksi Damai “Hari Tanpa TV” pada Sabtu, 21 Juli 2007, pk. 10-14 WIB. Dalam kegiatan ini kami akan memasang spanduk, menyebarkan flyer dan brosur di sejumlah titik penting di Bandung. Tujuannya membangkitkan awareness gerakan “Hari Tanpa TV”. Dalam acara ini, kami dibantu oleh para relawan dosen dan mahasiswa Fikom Unisba, Stikom, Unpas, dan simpatisan lain.
5. Aksi “Hari Tanpa TV”, 22 Juli 2007. Diselenggarakan serempak di 5 kota, yaitu Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, dan Makasar.
6. Monitoring “Hari Tanpa TV”, mulai Senin, 24 Juli 2007 s.d. Sabtu. Untuk menilai efektivitas aksi ini, sekaligus menjaring bagi masukan aksi berikutnya, maka akan dilakukan evaluasi melalui penyebaran dan pengumpulan kuesioner kepada masyarakat maupun sekolah-sekolah baik secara langsung maupun lewat posting di milis-milis. Hasilnya akan dilaporkan lewat media maupun milis-milis.
sumber: http://literasimedia.wordpress.com/