Psikotes, Sertifikat Mutlak Kemampuan Anak?

sumber :http://portal.cbn.net.id/cbprtl/cyberwoman/detail.aspx?x=MotherAndBaby&y=cyberwoman|0|0|8|1189

Psikotes bersifat kondisional sehingga tidak bisa mengukur kemampuan anak secara utuh dan berlaku selamanya.

Anda baru saja menerima selembar kertas hasil psikotes si kecil. Rasa kecewa tidak dapat dielakkan melihat indeks angka penunjuk kecerdasan anak tidak sesuai dengan harapan Anda. “Benarkah anakku tergolong tidak pintar?” Ini yang segera terbersit dalam pikiran.

Psikotes sering diasumsikan sebagai tes mengukur tingkat kecerdasan (IQ). Hal ini tidak sepenuhnya salah, namun psikotes tak hanya mengukur inteligensi, tapi juga kepribadian seseorang. Menurut psikolog perkembangan anak dari Universitas Paramadina, Alzena Masykouri MSi, psikotes merupakan istilah lain dari tes-tes psikologis yang dimaksudkan untuk mengetahui, menganalisa dan memahami aspek psikologis individu yaitu inteligensi dan atau sosial-emosi. Setiap tes memiliki tujuan dan penggunaan yang berbeda-beda tergantung pada kebutuhan. Psikotes untuk orang dewasa berbeda dengan psikotes untuk anak-anak, baik isi maupun metode pengetesannya.

Jenis tes psikologi anak juga beragam disesuaikan dengan kegunaan dan tahapan usianya. Metode yang digunakan pun beragam, misalnya menjawab pertanyaan, bercerita, menggambar, atau mengerjakan aktivitas lain. Setiap tes psikologi sudah didesain berdasarkan tingkat kemampuan anak. Jadi, tidak mungkin anak usia 2 tahun diminta untuk menuliskan kalimat.

Menurut psikolog perkembangan anak dari Universitas Indonesia, Surastuti Nurdadi Msi, psikotes bersifat kondisional artinya menguji kemampuan anak pada suatu kondisi tertentu. Sehingga bisa dikatakan tidak bisa mengukur kemampuan anak secara utuh dan berlaku selamanya. Surastuti mengatakan, psikotes yang formal dan terstandarisasi untuk anak prasekolah dan sekolah seharusnya dilakukan secara individual, bukan tes massal atau berkelompok dan dilakukan dengan interaksi langsung, berupa interview mendalam dan observasi.

Idealnya waktu psikotes memakan waktu minimal 1-2 jam. Didahului dengan suatu tahapan khusus untuk membina hubungan dengan anak agar mereka merasa aman dan nyaman. Misalnya dengan mengajak anak bermain terlebih dulu. Sehingga terjadi pendekatan emosi antara psikolog dengan anak untuk membangun kepercayaan anak. Hal ini akan memudahkan psikolog menggali potensi anak. ‘’Mimik wajah, ekspresi, bahasa tubuh, pemilihan kata-kata, dan keluwesan anak menjadi hal-hal yang diamati. Umumnya psikotes dilakukan hanya sebagai pendamping dalam pemeriksaan,’’ papar Surastuti.

Secara umum, lanjut Alzena, terdapat dua skala terstandardisasi, yaitu skala Wechsler dan skala Stanford-Binet (SB). Aspek-aspek kecerdasan yang diukur, misalnya aspek pengetahuan umum, logika-spasial, dan pemahaman bahasa. Seringkali juga dimasukkan aspek kepribadian yang mengukur motivasi, emosi, dan ketekunan. Untuk setiap aspek psikologi terdapat cara pengetesan yang disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan anak.

Untuk mengetahui kemampuan inteligensi dilakukan tes yang meliputi aspek psikologis, keterikatan terhadap tugas, dan aspek perkembangan sosial. Yang biasa diukur dan dianalisis pada aspek psikologis adalah kemampuan berpikir yang terdiri atas daya tangkap, minat terhadap lingkungan, konsentrasi, abstraksi verbal, kemampuan analisis sintesis, dan kemampuan numerik. Tes aspek keterikatan terhadap tugas (task commitment) meliputi inisiatif, daya tahan, ketelitian,dan kecekatan. Sedangkan tes aspek perkembangan sosial menelaah pemahaman nilai sosial, penyesuaian diri, dan kematangan emosi.

Sedangkan jenis tes IQ yang tidak memenuhi standarisasi bisa dilakukan secara berkelompok. Namun, jumlah dan usia pesertanya dibatasi, maksimal empat anak dan berusia di atas 5 tahun. Umumnya tes psikologis formal atau yang telah terstandardisasi ini dapat dilakukan saat anak usia 3 tahun ke atas. “Di usia ini anak sudah mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan baik. Sehingga memperkecil kemungkinan kesalahan atau ketidakakuratan hasil pengetesan karena faktor lain,” papar Alzena.

Menelaah Psikogram

Setelah mengikuti psikotes orang tua akan menerima hasil berupa psikogram. Dalam hasil tersebut dituliskan mengenai taraf kecerdasan anak menurut skala tertentu. Sehingga orangtua dapat melihat sejauh mana kemampuan anak. Psikogram juga berfungsi sebagai sertifikat bahwa anak telah mengikuti pemeriksaan psikologis. Namun, tidak semua pemeriksaan psikologis memerlukan psikogram. Hanya bila diminta oleh pihak ketiga, misalnya sekolah. Psikolog akan menjelaskan hasil pemeriksaannya kepada orangtua. Jadi, mintalah penjelasan atau konseling secara detil. ”Terkadang kesalahan orangtua hanya melihat angka dalam psikogram. Sebaiknya diskusikan dengan psikolog,” ujar Surastuti.

Angka kecerdasan anak terkadang tetap pada golongan tertentu namun dapat juga berubah. Bila konsep cerdas yang digunakan adalah konsep cerdas secara kognisi, psikotes dapat dijadikan landasan untuk melihat taraf kecerdasan anak. Yang harus diingat orangtua, anak tak hanya cerdas kognisi. Namun masih banyak kecerdasan lainnya dalam diri anak. “Psikotes bukanlah harga mati yang menentukan anak cerdas atau tidak,” kata Alzena.

Tidak mutlak jika anak mendapatkan IQ tinggi menandakan ia pasti berprestasi di sekolah. Bukan berarti tanpa belajar, anak dapat menghasilkan prestasi yang baik. Sebaiknya anak tak hanya berprestasi dalam bidang akademik saja. Kecerdasan merupakan potensi yang dimiliki yang harus diasah dan dilatih. Sah-sah saja mengetahui potensinya, agar anak dapat diarahkan dan belajar menggunakan potensinya dengan optimal.

Surastuti mengatakan, psikotes dilakukan bila orangtua merasa perlu mengetahui kecerdasan dan kepribadian anak. Sehingga tidak perlu dilakukan setiap tahun. Tujuannya, agar dapat mengarahkan potensi dan minat anak. Sebaiknya sampaikan maksud dan tujuan Anda, agar psikolog dapat memberikan saran pengembangan yang tepat sesuai kemampuan anak. Idealnya, anak berusia sekitar 8-12 tahun dapat mengikuti psikotes untuk mengarahkan potensi belajar dan minatnya. Namun, jika anak mengalami gangguan emosi, psikotes bisa dilakukan 6 bulan berikutnya.

Selain itu ada faktor lain yang dapat mempengaruhi hasil psikotes. Alzena memaparkan, ketidaknyamanan akan membuat anak tidak termotivasi. Dampaknya, hasil psikotes pun tidak optimal seperti anak sedang mengantuk, sakit, perasaan malas, marah, sedih, atau terpaksa. Ini akan mempengaruhi kinerja anak dan menunjukkan efek negatif pada hasil pemeriksaan. Sehingga, sulit untuk mengetahui hasil yang sebenarnya. Namun, biasanya psikolog sudah mempertimbangkannya dalam melakukan pemeriksaan. Jadi, biarkan anak apa adanya.

Alzena melanjutkan, hasil tes juga dipengaruhi metode atau alat tes yang digunakan. Hasil yang didapatkan belum dapat menggambarkan kemampuan dan potensi optimal anak jika metode atau alat tes yang digunakan tidak tepat. Hal ini bisa berdampak pada penanganan yang diterapkan pada anak. Untuk menghindari kesalahpahaman, sebaiknya orangtua menanyakan metode pengetesan yang digunakan. Tanyakan pula apakah anak menggunakan alat tes yang formal dan terstandardisasi.

Psikotes di Sekolah
Istilah psikotes juga digunakan sebagai tes masuk sekolah. Alzena mengatakan, umumnya sekolah menggunakan metode pengamatan dalam bentuk aktivitas. Orangtua biasanya beranggapan, proses seleksi masuk sekolah playgroup, TK, SD, SMP, atau SMA pasti menggunakan psikotes. Padahal belum tentu, untuk tingkat prasekolah, biasanya dilakukan observasi terstruktur oleh guru atau psikolog untuk mengetahui kemampuan anak. Namun, belum dapat dikategorikan psikotes formal atau terstandarisasi.

Psikolog sekolah SD Adik Irma, Vera Itabiliana Psi mengatakan, psikotes yang diadakan di sekolah tak hanya dipergunakan saat penerimaan murid tapi juga ketika menangani anak yang mengalami masalah. Tentunya metode dan aspek-aspek yang diukurnya pun berbeda. Psikotes yang digunakan untuk seleksi penerimaan murid, digunakan untuk menetapkan kriteria yang diinginkan sekolah.

Biasanya yang menjadi aspek pengukurannya selain standar kecerdasan juga adalah kematangan sekolah anak, yaitu kemampuan beradaptasi dan kematangan emosi misalnya kemandirian anak. Sekolah juga dapat mengindentifikasi kebutuhan anak, termasuk apakah anak memiliki kebutuhan khusus atau tidak. “Psikotes di sekolah sebagai pedoman guru untuk melihat kemampuan dan karakter anak, karena setiap sekolah memiliki keterbatasan dalam menangani anak dengan kriteria tertentu,” papar Vera. Hasil tes akan digunakan oleh guru dalam menentukan metode pengajaran yang sesuai bagi siswanya.

Untuk menghadapi psikotes di sekolah biasanya orangtua sibuk mengikutkan anak menjalani psikotes di tempat lain. Vera mengingatkan, hal ini tidak perlu dilakukan karena akan mempengaruhi kemurnian hasil tes. Kemungkinan besar anak sudah mengetahui isi tes, sehingga ada efek belajar di dalamnya. Anak pun lelah dan bosan. Kondisi ini akan mempengaruhi performanya saat menjalani tes di sekolah.

Lain halnya dengan psikotes yang digunakan untuk mengidentifikasi masalah anak seperti prestasi anak yang menurun di sekolah. Biasanya anak akan menjalani tahapan observasi, wawancara dan konseling. Alat tes digunakan hanya untuk membantu mengindentifikasi masalah anak. Tes psikologis ini bertujuan untuk membantu anak mengatasi masalahnya. Tak hanya masalah yang berkaitan dengan sekolah, tapi juga masalah pribadi anak.

Surastuti mengatakan, jangan langsung menghakimi anak jika mengetahui mereka tidak masuk seleksi sekolah idaman Anda. Mungkin anak tergolong pandai namun sulit menyesuaikan diri. ‘’Perlu orangtua pahami bahwa usia kanak-kanak masih dalam tahap perkembangan. Sehingga hasil psikotes tidak bisa menjadi patokan tetap kemampuan anak,’’ jelasnya. Perkembangan kecerdasan dan kemampuan anak tergantung pada stimulasi yang diterimanya dari lingkungan tempat anak bertumbuh kembang.

Psikolog perkembangan anak dari universitas Paramadina, Alzena Masykouri Msi, memaparkan beberapa hal yang penting diperhatikan dalam memilih lembaga atau psikolog:

* Ijin praktik. Untuk psikolog yang berpraktik, baik secara pribadi atau di lembaga/klinik/rumah sakit, harus memiliki ijin praktik. Dengan adanya ijin praktik tersebut, maka psikolog dianggap sudah handal dalam melakukan praktiknya.

* Metode dan alat tes yang digunakan. Dalam pelaksanaan tes kecerdasan atau kepribadian yang terstandardisasi, sudah ada metode bakunya.Biasanya, untuk anak usia dibawah 12 tahun metodenya adalah individual. Jadi bukan klasikal atau massal. Orangtua berhak pula menanyakan alat tes yang digunakan dan apa saja aktivitas yang dilakukan. Metode yang lazim digunakan adalah menggambar, bercerita, menyusun gambar, dan menjawab pertanyaan. Bila perlu, tanyakan apakah alat tes tersebut merupakan alat tes yang terstandardisasi. Orangtua juga boleh menanyakan nama tes yang digunakan.

* Hasil pemeriksaan. Biasanya orangtua akan mendapatkan hasil pemeriksaan atau psikogram. Sebenarnya yang paling penting adalah penjelasan mengenai hasil pemeriksaan tersebut. Lembaga atau psikolog akan memberikan kesempatan bagi orang tua untuk berkonsultasi mengenai hasil tersebut.

Persiapan anak sebelum psikotes
Orang tua juga tidak perlu khawatir bila anaknya harus mengikuti psikotes. Jangan dibayangkan psikotes seperti proses seleksi penerimaan karyawan. Yakinlah pada kemampuan anak. Yang penting bantu anak mempersiapkan dirinya secara matang, berikut tips menjelang psikotes dari ketiga psikolog di atas

* Tidak perlu latihan. Terkadang orangtua terlalu khawatir pada hasil psikotes. Biarkan anak apa adanya sesuai dengan kemampuannya. Perhatikan jam pemeriksaannya. Apakah waktu tersebut bertepatan dengan jam tidur siangnya atau tidak.

* Pastikan kondisi anak fit. Jangan biarkan anak tidur terlalu malam. Sebelum berangkat sebaiknya anak sarapan terlebih dulu. Selain itu, anak jangan terlalu lelah dan stres.

* Ciptakan kondisi senyaman mungkin untuk anak. Tidak perlu mewanti-wanti anak agar menjawab dengan benar. Yang perlu diingatkan, minta anak mengikuti instruksi atau kegiatan yang diberikan oleh psikolog.

* Jelaskan pada anak. Hindari menggunakan kata ‘tes’ dalam penjelasan Anda. Katakan saja, anak akan diajak bermain dengan psikolog. Gunakan kata-kata yang santai dan mudah dimengerti anak.

Sumber: Majalah Inspire Kids