Kesulitan Belajar, Lambat Belajar,TunaGrahita, Gifted Disinkroni

sumber : http://gulit1.wordpress.com/2009/03/05/kesulitan-belajar-lambat-belajar-tunagrahita-gifted-disinkroni/

a. Pengertian Kesulitan Belajar, Lambat Belajar, Tunagrahita, Gifted Disinkroni

Anak berkesulitan belajar adalah anak yang memiliki ganguan satu atau lebih dari preoses dasar yang mencakup pemahaman penggunaan bahasa lisan atau tulisan, gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dalam bentuk kemampuan yang tidak sempurna dalam mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis,mengeja atau menghitung. Batasan tersebut meliputi kondisi-kondisi seperti gangguan perceptual, luka pada otak, diseleksia dan afasia perkembangan. Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, kita dihadapkan dengan sejumlah karakterisktik siswa yang beraneka ragam. Ada siswa yang dapat menempuh kegiatan belajarnya secara lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit pula siswa yang justru dalam belajarnya mengalami berbagai kesulitan. Kesulitan belajar siswa ditunjukkan oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar, dan dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan prestasi belajar yang dicapainya berada di bawah semestinya.

Kesulitan belajar siswa mencakup pengetian yang luas, diantaranya : (a) learning disorder; (b) learning disfunction; (c) underachiever; (d) slow learner, dan (e) learning diasbilities. Di bawah ini akan diuraikan dari masing-masing pengertian tersebut.

1. Learning Disorder atau kekacauan belajar adalah keadaan dimana proses belajar seseorang terganggu karena timbulnya respons yang bertentangan. Pada dasarnya, yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya tidak dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya respons-respons yang bertentangan, sehingga hasil belajar yang dicapainya lebih rendah dari potensi yang dimilikinya. Contoh : siswa yang sudah terbiasa dengan olah raga keras seperti karate, tinju dan sejenisnya, mungkin akan mengalami kesulitan dalam belajar menari yang menuntut gerakan lemah-gemulai.
2. Learning Disfunction merupakan gejala dimana proses belajar yang dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya siswa tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat dria, atau gangguan psikologis lainnya. Contoh : siswa yang memiliki postur tubuh yang tinggi atletis dan sangat cocok menjadi atlet bola volley, namun karena tidak pernah dilatih bermain bola volley, maka dia tidak dapat menguasai permainan volley dengan baik.
3. Under Achiever mengacu kepada siswa yang sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah. Contoh : siswa yang telah dites kecerdasannya dan menunjukkan tingkat kecerdasan tergolong sangat unggul (IQ = 130 – 140), namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau malah sangat rendah.
4. Slow Learner atau lambat belajar adalah siswa yang lambat dalam proses belajar, sehingga ia membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama.
5. Learning Disabilities atau ketidakmampuan belajar mengacu pada gejala dimana siswa tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga hasil belajar di bawah potensi intelektualnya.

Siswa yang mengalami kesulitan belajar seperti tergolong dalam pengertian di atas akan tampak dari berbagai gejala yang dimanifestasikan dalam perilakunya, baik aspek psikomotorik, kognitif, konatif maupun afektif . Beberapa perilaku yang merupakan manifestasi gejala kesulitan belajar, antara lain :

1. Menunjukkan hasil belajar yang rendah di bawah rata-rata nilai yang dicapai oleh kelompoknya atau di bawah potensi yang dimilikinya.
2. Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang telah dilakukan. Mungkin ada siswa yang sudah berusaha giat belajar, tapi nilai yang diperolehnya selalu rendah
3. Lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajarnya dan selalu tertinggal dari kawan-kawannya dari waktu yang disediakan.
4. Menunjukkan sikap-sikap yang tidak wajar, seperti: acuh tak acuh, menentang, berpura-pura, dusta dan sebagainya.
5. Menunjukkan perilaku yang berkelainan, seperti membolos, datang terlambat, tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengganggu di dalam atau pun di luar kelas, tidak mau mencatat pelajaran, tidak teratur dalam kegiatan belajar, dan sebagainya.
6. Menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, seperti : pemurung, mudah tersinggung, pemarah, tidak atau kurang gembira dalam menghadapi situasi tertentu. Misalnya dalam menghadapi nilai rendah, tidak menunjukkan perasaan sedih atau menyesal, dan sebagainya.

Sementara itu, Burton (Abin Syamsuddin. 2003) mengidentifikasi siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar, yang ditunjukkan oleh adanya kegagalan siswa dalam mencapai tujuan-tujuan belajar. Menurut dia bahwa siswa dikatakan gagal dalam belajar apabila :

1. Dalam batas waktu tertentu yang bersangkutan tidak mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau tingkat penguasaan materi (mastery level) minimal dalam pelajaran tertentu yang telah ditetapkan oleh guru (criterion reference).
2. Tidak dapat mengerjakan atau mencapai prestasi semestinya, dilihat berdasarkan ukuran tingkat kemampuan, bakat, atau kecerdasan yang dimilikinya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam under achiever.
3. Tidak berhasil tingkat penguasaan materi (mastery level) yang diperlukan sebagai prasyarat bagi kelanjutan tingkat pelajaran berikutnya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam slow learner atau belum matang (immature), sehingga harus menjadi pengulang (repeater)

Untuk dapat menetapkan gejala kesulitan belajar dan menandai siswa yang mengalami kesulitan belajar, maka diperlukan kriteria sebagai batas atau patokan, sehingga dengan kriteria ini dapat ditetapkan batas dimana siswa dapat diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Terdapat empat ukuran dapat menentukan kegagalan atau kemajuan belajar siswa : (1) tujuan pendidikan; (2) kedudukan dalam kelompok; (3) tingkat pencapaian hasil belajar dibandinngkan dengan potensi; dan (4) kepribadian.

Slow learner (Lambat belajar) adalah adalah mereka yang memiliki prestasi belajar rendah (di bawah rata-rata anak pada umumnya) pada salah satu atau seluruh area akademik, tapi mereka ini bukan tergolong anak terbelakang mental. Skor tes IQ mereka menunjukkan skor anatara 70 dan 90 (Cooter & Cooter Jr., 2004; Wiley, 2007). Dengan kondisi seperti demikian, kemampuan belajarnya lebih lambat dibandingkan dengan teman sebayanya. Tidak hanya kemampuan akademiknya yang terbatas tapi juga pada kemampuan-kemampuan lain, dianataranya kemampuan koordinasi (kesulitan menggunakan alat tulis, olahraga, atau mengenakan pakaian). Dari sisi perilaku, mereka cenderung pendiam dan pemalu, dan mereka kesulitan untuk berteman. Anak-anak lambat belajar ini juga cenderung kurang percaya diri. Kemampuan berpikir abstraknya lebih rendah dibandingkan dengan anak pada umumnya. Mereka memiliki rentang perhatian yang pendek. Anak dengan SL memiliki ciri fisik normal. Tapi saat di sekolah mereka sulit menangkap materi, responnya lambat, dan kosa kata juga kurang, sehingga saat diajak berbicara kurang jelas maksudnya atau sulit nyambung.

Tunagrahita merupakan kata lain dari Retardasi Mental (mental retardation). Tuna berarti merugi.Grahita berarti pikiran. Retardasi Mental (Mental Retardation/Mentally Retarded) berarti terbelakang mental. Tunagrahita sering disepadankan dengan istilah-istilah, sebagai berikut: 1. Lemah fikiran ( feeble-minded); 2. Terbelakang mental (Mentally Retarded); 3. Bodoh atau dungu (Idiot); 4. Pandir (Imbecile); 5. Tolol (moron); 6. Oligofrenia (Oligophrenia); 7. Mampu Didik (Educable); 8. Mampu Latih (Trainable); 9. Ketergantungan penuh (Totally Dependent) atau Butuh Rawat; 10. Mental Subnormal; 11. Defisit Mental; 12. Defisit Kognitif; 13. Cacat Mental; 14. Defisiensi Mental; 15. Gangguan Intelektual American Asociation on Mental Deficiency/AAMD dalam B3PTKSM, (p. 20), mendefinisian Tunagrahita sebagai kelainan: yang meliputi fungsi intelektual umum di bawah rata-rata (Sub-average), yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan tes; yang muncul sebelum usia 16 tahun; yang menunjukkan hambatan dalam perilaku adaptif. Sedangkan pengertian Tunagrahita menurut Japan League for Mentally Retarded (1992: p.22) dalam B3PTKSM (p. 20-22) sebagai berikut: Fungsi intelektualnya lamban, yaitu IQ 70 kebawah berdasarkan tes inteligensi baku.Kekurangan dalam perilaku adaptif. Terjadi pada masa perkembangan, yaitu anatara masa konsepsi hingga usia 18 tahun. Pengklasifikasian/penggolongan Anak Tunagrahita untuk keperluan pembelajaran menurut American Association on Mental Retardation dalam Special Education in Ontario Schools (p. 100) sebagai berikut: 1. EDUCABLE Anak pada kelompok ini masih mempunyai kemampuan dalam akademik setara dengan anak reguler pada kelas 5 Sekolah dasar

Gifted (anak berbakat) adalah mereka yang menurut para ahli / profesional diidentifikasikan sebagai anak yang mampu mencapai prestasi tinggi karena mempunyai kemampuan-kemampuan yang unggul. Anak berbakat memerlukan pendidikan khusus yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhannya agar potensi yang luar biasa hebat yang dimilkinya dapat di aktualisasikan secara optimal untuk kepentingan sendiri dan masyarakat.

Anak-anak gifted kadang mengalami disinkroni. Dari penelitian Mönks dilaporkan bahwa setengah dari populasi anak berbakat (gifted) mengalami masalah di sekolahnya karena prestasi yang dicapai di bawah potensinya (Mönks & Ypenburg, 1995). Masalah ini disebabkan bukan hanya tidak terdukungnya perkembangan kognitif mereka dengan metode yang tepat di sekolah, tetapi juga adanya masalah dalam perkembangan yang disebut masalah perkembangan disinkroni.Jika tidak ditangani dengan tepat, potensi gifted disinkroni ini bisa berkembang tidak optimal. Bahkan dampak yang lebih buruk, anak akan frustrasi.

b. Kendala Mengintegrasikan Anak Tunagrahita Dengan Anak Normal di Sekolah Reguler

Anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus (tunagrahita) sepintas tidak memiliki perbedaan dengan anak lainnya. Akibatnya masyarakat tidak memberikan perhatian khusus. Padahal anak-anak yang memiliki kelambatan perkembangan psikomotorik membutuhkan pendampingan sepanjang hidupnya. anak-anak tunagrahita sepanjang hidupnya membutuhkan pendampingan sehingga memerlukan dukungan masyarakat. Selama ini perhatian masyarakat sebatas kepada cacat fisik seperti tuna netra, tuna rungu dan tuna daksa. Anak-anak yang tunagrahita lebih membutuhkan pendampingan dari orang lain. Perkembangan fisiknya dapat sangat baik, namun psikomotoriknya sangat lambat. Akibatnya masyarakat tidak memberikan perhatian sepenuh lebih banyak dibandingkan cacat fisik. Orang tunagrahita dikodratkan memiliki inte-legensia rendah mulai dari 30-69. Makin rendah tingkat intelegensianya, makin rendah pula daya nalarnya.
tuna-grahita ringan memiliki tingkat intelegensia antara 60-69, bisa dididik berbagai keterampilan, seperti membaca, mengenal huruf dan uang, mengenal norma masyarakat, serta berso-sialisasi.

Tunagrahita sedang bisa melakukan beberapa kete-rampilan hidup dan berko-munikasi. Namun tunagrahita berat, motorik halusnya tidak berkembang akibatnya tidak bisa melakukan berbagai pekerjaan dengan baik dan takut bertemu orang lain. Ketunagrahitaan bisa didapat karena faktor genetik, terinfeksi virus, kurang asupan gizi, atau pengaruh konsumsi jenis obat dalam dosis tertentu yang mengakibatkan kelainan pada syaraf-syaraf kecerdasannya di otak. “Meskipun daya nalarnya tergolong rendah, mereka memiliki kelebihan yang sangat khas”

Secara umum kendala terbesar dapat dilihat dari jumlah sekolah khusus yang ada di Indonesia serta tenaga pengajarnya dan kurikulum yang dikembangakan belum memadai. Meskipun banyak hal yang biasa kita singgung mengenai kendala yang dihadapi anak tunagrahita di sekolah normal.

c. Kritik Terhadap Program Akselerasi di Indonesia

Progaram akselerasi adalah program percepatan belajar merupakan suatu program layanan pendidikan khusus bagi peserta didik yang oleh guru telah diidentifikasikan memiliki prestasi sangat memuaskan, dan oleh psikolog telah diidentifkasi memiliki kemampuan intelektual umum pada taraf cerdas, memiliki kreatifitas tinggi dan ketertarikan terhadap tugas diatas rata-rata, untuk menyelesaikan program pendidkan sesuai dengan kecepatan belajar mereka.

Pada program ini memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri dari segi peserta didik hal ini malah akan menimbulkan kesenjangan bagi anak-anak yang kemampuannya biasa-biasa saja dan bagi anak yang mengikuti program ini sebenarnya sangat berpengaruh bagi pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga sangat diperlukan tenaga ahli yang kompeten di bidangnya dalam hal penanganannya.

1. Pola perampingan waktu dari 3 taun menjadi 2 tahun, dengan waktu efektif belajar siswa 3 bulan tiap semester ternyata memiliki dampak yang cukup signifikan menurut penulis selaku guru yang langsung terjun berinteraksi dengan siswa. Keterbatasan waktu dan banyaknya jumlah materi yang harus disampaikan tidak bisa dielakkan lagi benturannya. Yang pada ujungnya, walaupun guru sudah memilah dan memilih materi esensial dan non esensial, toh dengan sangat terpaksa guru menyampaikan hanya kulit-kulitnya saja. Hal ini dirasakan langsung oleh siswa, apalagi ketika mereka melanjutkan studi di perguruan tinggi mengambil jurusan yang langsung berhubungan dengan materi di SMA seperti MIPA ataupun Teknik. Mereka baru tahu bahwa ternyata apa yang didapatkan SMA sangat dangkal. Cepatnya guru mengajar tidak bisa dihindarkan sehingga materi esensial pun tidak bisa didalam.
2. Bagi guru, mengajar di kelas ekselerasi selain dituntut guru harus mampu merancang suatu metode pembelajaran yang efektif, dengan waktu singkat tetapi siswa paham, cenderung mengakibatkan guru tidak bisa merasakan nikmatnya mengajar suatu materi. Bahkan lebih jauh, yang ada hanyalah memadatkan tetapi sulit untuk melakukan reinforcement, enrichment atau ekskalasi (pendalaman pada tiap bidang) materi. Untuk melakukan analisis yang tinggi terhadap suatu materi yang disampaikan mungkin nyaris terabaikan karena desakan waktu, dan kejaran bahan yang ada.
3. Usaha pemadatan materi dengan cara menghilangkan beberapa materi yang dianggap non esensial sangat beresiko hilangnya materi yang kadang kala justru itu merupakan proses analisis berpikir siswa.
4. Pengalaman belajar yang dialami siswa selama pembelajaran sangat menentukan pengembangan potensi dasar siswa baik daya pikir, efektif, maupun kecakapannya. Life skill yang diharapkan dapat tumbuh dalam proses belajar akan cenderung terabaikan kerena yang disampaikan hanya konsep-konsep penting saja.
5. Locus of Control (orientasi control siswa terhadap pengembangan diri) pun nyaris hilang, karena kenikmatan belajar atau menghayati suatu materi tidak sempat mampir pada siswa. Pada saat yang berurutan mereka harus memahami materi, mengerjakan latihan soal, dan langsung mengikuti ter evaluasi.
6. Masa transisi setelah siswa lulus seleksi program akselerasi, dan mulai mengikuti kelas ini cenderung terlihat pada 3 bulan pertama, mereka mengalami suasana stress. Apalagi bila ada guru yang tanpa basa-basi langsung melakukan akselerasi tanpa pemanasan terlebih dahulu. Siswa akan kaget dengan cepatnya materi yang diberikan.
7. Padatnya beban tugas mandiri yang mereka terima cenderung mengakibatkan sosoalosasi dngan teman-teman regular menjadi sangat kurang atau bahkan menjadi sedikit eksklusif. Kecuali pada siswa-siswa tertentu yang merespon tugas dengan baik atau cenderung apatis, kadang-kadang mereka masih bisa bermain dengan teman-temannya dari kelas reguler.
8. Menjelang akhir tahun kelas 3, persiapan untuk ujian nasional, banyak ditemukan siswa yang merasa bahwa dia tidak memiliki persiapan apa-apa, seolah-olah materi 5 semester yang sudah didapat lewat begitu saja.

d. Saran Penyempurnaan Program Akselerasi Dalam Rangka Pendidikan Inklusif

Berbagai penelitian mengenai siswa unggul dan adanya program akselerasi di berbagai Negara yang berusaha mengakomodasi kebutuhan golongan siswa tersebut. Termasuk pula berbagai pro dan kontra mengenai dampak akselerasi dari berbagai aspek. Namun begitu, aktivitas belajar yang padat dapat memacu siswa sehingga memiliki daya juang yang tinggi dalam belajar, karena memang tidak ditemukan adanya dampak negatif dari hal itu. Meski demikian, pemantauan pada semester awal menjadi amat penting dalam rangka melakukan tindakan lanjutan bagi siswa yang ditemukan memiliki potensi tidak cukup mampu melakukan penyesuaian diri dengan tuntutan program maupun juga lingkungan akademik dan sosial yang baru. Bagaimanapun, evaluasi terhadap program akselerasi di Indonesia harus terus dilakukan dari berbagai aspek. Keberhasilan akselerasi di Negara lain tidaklah dapat menjadi pegangan, mengingat kondisi demografis dan sosio-kultural yang berbeda.

Berikuit ini adalah saran agar program akselerasi dapat berjalan dengan baik:

* Program Percepatan Belajar atau Kelas Akselerasi bagi anak berbakat yaitu mereka yang kerana memiliki kemampuan-kemampuan yang unggul serta prestasi yang tinggi, perlu dirancang dengan sebaik mungkin.
* Pola pemadatan waktu jangan sampai memberikan dampak bola salju yang mengakibatkan justru potensi siswa yang mestinya tampil manjadi hilang. Mereka hanya disibukkan untuk menyelesaikan materi dan tugas-tugas yang ada.
* Evaluasi, dan pemantauan tarus menerus harus dilakukan, dan tidak bisa menyamakan pola siswa setiap angkatan. Karakter siswa tiap angkatan akan membentuk karakter kelas dan budaya kelas (calss culture) yang berimplikasi pada pola dan metode mengajar guru yang harus disesuaikan.
* Siswa program akselerasi harus memiliki pendampingan yang intens baik dari wali kelas, guru mata pelajaran, guru bimbingan konseling serta psikolog yang memang khusus disediakan untuk siswa kelas akselerasi. Dan masing-masing aspek diatas harus senantiasa ada komunikasi khusus untuk mengevaluasi perkembangan siswa. Hal ini dimungkinkan untuk tampilnya seluruh potensi siswa dengan mengikuti program ini.
* Guru kelas akselerasi dituntut harus piawai dalam mengemas sebuah pembelajaran, mereka tidak bisa menyamakan perlakuan mengajar dikelas regular dengan kelas akselerasi. Penyampaian materi harus utuh (bukan sesuka guru) dengan target adanya pemekaran dan mampu mengekskalasi suatu materi.
* Untuk meningkatkan kualitas program akselerasi, maka rekurtmen siswa harus sangat hati-hati dan komprehensif dengan tidak mengabaikan faktor lain.
* Investasi yang mahal pada program ini menuntut kerjasama yang erat antara pihak sekolah, orangtua, masyarakat untuk terus melakukan perbaikan-perbaikan menuju target yang diharapkan.