HIB DAN ANCAMAN KEMATIAN BAYI

sumber : milis balita-anda

Satrio Widianto (wartawan harian Pikiran Rakyat)

Kendati teknologi dan berbagai penemuan sudah demikian
banyak, penyakit-penyakit infeksi masih menjadi salah
satu penyebab kesakitan dan kematian pada bayi dan
balita. Upaya pencegahan telah dilakukan dengan cara
memperbaiki sanitasi, perbaikan gizi, dan kondisi
kehidupan masyarakat. Akan tetapi upaya ini ternyata
belum cukup.

Imunisasi masih menjadi tindakan pencegahan paling
efektif karena terbukti paling ampuh mencegah penyakit
infeksi. Imunisasi bagi bayi dan balita bukan saja
sangat menguntungkan secara individu, sebagai
pelindung dari penyakit, kecacatan, bahkan kematian.
Imunisasi juga bermanfaat bagi masyarakat secara luas
untuk mencegah penularan penyakit infeksi di antara
masyarakat, terutama bagi penyakit infeksi yang
ditularkan melalui kontak langsung dengan
penderitanya.
Melalui imunisasi, bayi dan balita akan menjadi kebal
terhadap penyakit infeksi tertentu. Sementara itu,
melalui program imunisasi massal, akan dicapai tujuan
akhir yaitu eradikasi penyakit dari suatu negara
bahkan dunia.

Penyakit yang berbahaya kadang-kadang pada awalnya
sulit diketahui karena tidak punya gejala spesifik
sehingga sangat sulit untuk mendeteksinya. Akibatnya
fatal jika tidk tertangani dengan segera dan tepat.
Hal ini tentu sangat mencemaskan, apalagi jika
penyakit tsb. menyerang balita yang belum dapat
mengungkapkan rasa tak enak pada tubuhnya.

Salah satu penyakit infeksi yang berbahaya dan tidak
memiliki gejala spesifik adalah penyakit Hib
(Haemophillus Influenzae tipe B). Ini bukanlah
penyakit sejenis influenza yang disebabkan oleh virus
influenza, tapi disebabkan oleh bakteri gram negatif,
yang bernama Haemophillus influenzae yang terbagi atas
jenis yang berkapsul dan tidak berkapsul.

Tipe yang tidak berkapsul umumnya tidak ganas dan
hanya menyebabkan infeksi ringan, sedangkan tipe yang
berkapsul terbagi atas 6 serotipe dari A sampai F. Di
antara jenis yang berkapsul, tipe B merupakan tipe
yang paling ganas dan 95% penyebab dari semua infeksi
akibat Haemophylus influenzae. Selain itu, tipe ini
juga menjadi salah satu penyebab tersering dari
kesakitan dan kematian pada bayi dan anak berumur
kurang dari 5 tahun.

Infeksi Haemophyllus influenzae tipe B atau lebih
dikenal sebagai Hib adalah infeksi yang paling sering
menyebabkan meningitis (radang selaput otak).
Penyakit lain akibat infeksi Hib adalah pneumonia
(radang paru) dan epiglotitis (radang tulang rawan
tenggorokan).
Prof. Dr. dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro, Sp.A. (K),
Ketua Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI) mengakui, penyakit ini beresiko tinggi,
menimbulkan kematian pada bayi. Kalaupun sembuh,
meningitis Hib dapat menyebabkan gangguan pendengaran,
mental, dan otak.

Penyakit akibat Hib yang telah dikenal sejak 50 tahun
terakhir ini diketahui sebagai salah satu gangguan
kesehatan serta penyebab kesakitan dan kematian,
terutama bagi balita. “anak-anak di bawah usia 5
tahun merupakan kelompok anak yang paling rentan
terinfeksi Hib, sedangkan usia yang paling beresiko
adalah antara 2 bulan hingga 18 bulan. Sekitar 5-10%
dari mereka yang terinfeksi akan meninggal. Infeksi
akut Hib juga menyerang bayi berusia di bawah 6 bulan,
dengan tingkat kematian mencapai 40%,” kata Prof. Sri
Rezeki.

Di negara barat, Hib menyebabkan penyakit pada 20-200
per 100.000 penduduk. Perbedaan angka kejadian tsb.
disebabkan perbedaan teknis pemantauan, teknik
pengambilan materi pemeriksaan, teknis pemeriksaan
laboratorium, dan pola penggunaan antibiotik.

Beberapa laporan dari negara di Asia menunjukkan bahwa
Hib menjadi penyebab utama dan terbanyak yang
menimbulkan penyakit meningitis. Sementara itu, di
Indonesia, Hib menjadi penyebab 33% dari kasus
meningitis. Hasil riset lanjutan melaporkan bahwa Hib
merupakan 38% penyebab meningitis pada bayi dan anak
berumur kurang dari 5 tahun. Penyebabnya adalah
bakteri Hib yang ditularkan melalui udara dan kontak
langsung dengan penderita.
Meningitis adalah penyakit yang disebabkan oleh virus
dan bakteri, tapi lebih sering akibat infeksi bakteri
Hib. Penyakit ini biasanya menyerang anak-anak pada
usia lima tahun, diawali dengan gejala sakit
tenggorokan. Akan tetapi, gejala tsb. kemudian
membuat kondisi kesehatan pasien semakin parah
disertai dengan kaku leher, photofobia (takut melihat
cahaya), demam, sakit kepala akut, nyeri sendi,
muntah, mengantuk, gelisah, dan delirium (mengigau).
Pada beberapa pasien anak-anak, serangan meningitis
bisa datang secara mendadak dan beberapa jam setelah
muncul gejala, kemudian pasien meninggal.

Secara keseluruhan, tingkat kematian penyakit
meningitis akibat bakteri Hib mencapai sekitar 5%.
Meskipun dapat disembuhkan, sering pasien menderita
kecacatan, terutama gangguan pendengaran.
Selain itu, Haemophyllus influenzae juga menjadi
penyebab pneumonia atau radang paru. Penelitian
membuktikan bahwa pneumonia disebabkan oleh virus pada
25-75% kasus, sedangkan bakteri biasanya ditemukan
pada kasus yang berat. Kematian umumnya disebabkan
oleh infeksi bakteri.

Pada penderita pneumonia, kantung udara di dalam
paru-paru dipenuhi banyak cairan lain sehingga
mengganggu fungsi paru-paru. Akibatnya, oksigen sulit
mencapai aliran arah. Bila oksigen di dalam darah
sedikit, sel-sel tubuh tidak dapat bekerja dengan baik
sehingga bisa menimbulkan kematian.
Sebelum diperkenalkan vaksin, Hib merupakan bakteri
penyebab pneumonia dan diduga bertanggung jawab
terhadap 5-18% kejadian pneumonia. Radang paru atau
pneumonia lebih sering terjadi di negara-negara
berkembang dengan prevalensi 5-15%. Anak-anak di
bawah 4 tahun termasuk kelompok paling rentan
menderita penyakit ini. Gejalanya demam,
menggigil/gemetar, napas pendek, batuk dan sakit dada.
Di negara maju, imunisasi telah menurunkan kejadian
infeksi Hib hingga lebih dari 95%, termasuk pneumonia.

Penyakit lain yang disebabkan oleh bakteri Hib ini
adalah Epiglotitis, yaitu penyakit radang tulang rawan
tenggorokan akibat infeksi penutup tulang rawan
pangkal tenggorokan. Penyakit ini paling sering
terjadi pada anak-anak usia 2-4 tahun.
Penyakit ini dengan cepat menyerang tubuh, diawali
dengan sakit tenggorokan dan demam. Kemudian,
Epiglotis menjadi merah terang, bengkak dan sakit,
merusak/mengganggu jalan napas dan menyebabkan
penderitanya mengalami sulit bernapas dan menelan.
Anak jadi resah dan gelisah serta cenderung duduk
tegak dengan leher menengadah dan dagu menonjol
sebagai upaya untuk mengurangi gangguan jalan napas.
Pasien bisa meninggal dalam waktu beberapa jam
kemudian akibat mati lemas karena kekurangan napas
atau septisemia.

Sangat disayangkan, Hib tidak memiliki gejala yang
spesifik dan hanya dapat diketahui setelah terjadi
kerusakan pada selaput saluran pernapasan. Gejala
umum yang muncul adalah demam, rinitis, sakit
tenggorokan, batuk, lelah, nyeri otot dan kepala,
muntah dan diare. Haemophyllus influenzae hanya
ditemukan pada manusia. Penularan terjadi melalui
udara dan kontak langsung dengan penderita. Sebagian
besar orang yang mengalami infeksi tidak menjadi
sakit, tapi menjadi pembawa kuman (carrier) karena Hib
menetap di tenggorokan. Prevalensi carrier yang lebih
dari 3% menunjukkan angka cukup tinggi.

Penelitian pendahuluan di Lombok menunjukkan
prevalensi pembawa kuman sebesar 4,6%, suatu angka
yang cukup tinggi. Bila prevalensi pembawa kuman
cukup banyak, kemungkinan kejadian meningitis dan
pneumonia akibat Hib biasanya juga tinggi. Data yang
ada menunjukkan bahwa Hib memang merupakan penyebab
meningitis yang terbanyak.
Mengenai pengobatan yang perlu dilakukan, di masa lalu
pengobatan penyakit akibat infeksi Hib dengan
memberikan obat antibiotik sesegera mungkin untuk
menyelamatkan penderita. Akan tetapi, sekarang
pengobatan dengan antibiotik saja ternyata tidak cukup
ampuh, mengingat bakteri Hib dewasa ini sudah banyak
yang kebal terhadap pengobatan antibiotik. Di Amerika
diperkirakan 40$ bakteri Hib resisten terhadap obat
antibiotik ampisilin.

Kenyataan ini menyebabkan para ilmuwan kesehatan
kemudian memusatkan perhatian pada upaya pencegahan
penyakit Hib. Mereka akhirnya memutuskan bahwa
imunisasi Hib adalah satu-satunya cara paling praktis
dan efektif untuk mencegah terjadinya penyakit akibat
bakteri Hib.
Sekarang ini vaksin Hib umumnya sudah tersedia di
banyak negara, termasuk Indonesia. Bahkan, beberapa
negara di antaranya telah memasukkan vaksinasi Hib ke
dalam jadwal imunisasi wajib untuk bayi dan balitanya.
Di negara yang telah berkembang, imunisasi menurunkan
kejadian infeksi Hib hingga lebih dari 95%, termasuk
untuk kasus pneumonia. Pemberian vaksin Hib sedini
mungkin akan melindungi bayi dan balita dari terserang
penyakit meningitis atau radang selaput otak,
pneumonia dan epiglotitis.
Salah satu vaksin Hib yang diproduksi GlaxoSmithKline
(GSK) memuat komponen PRP-T (konjugasi
polyribosyl-ribitol phosphate dengan tetanus toxoid)
yang terbukti memberikan kekebalan tubuh yang paling
optimal dibandingkan dengan vaksin konjugasi Hib
dengan bakteri lainnya. Vaksin Hib ini dikenal dengan
nama Hiberix.

“Vaksin Hiberix dapat digunakan sebagai vaksin
tersendiri atau dikombinasikan secara praktis dengan
vaksin lain seperti dengan vaksin Infanrix, yaitu
vaksin untuk penyakit-penyakit Difteri, Pertusis,
Tetanus (DPT) dengan efek samping seperti demam,
merah, dan bengkak di sekitar suntikan yang sangat
minimal,” kata dr. Fransiscus Chandra, Direktur
Medikal GaxoSmithKline.
“Memang awalnya, vaksin Hib terbuat dari kapsul
Polyribosyribitol phosphate (PRP), namun ternyata
vaksin yang terbuat dari PRP murni ini kurang efektif.
Jadi vaksin yang digunakan adalah konjugasi PRP
dengan berbagai komponen bakteri lain. Yang beredar
di Indonesia saat ini adalah vaksin konjugasi dengan
membran protein luar dari Neisseria menigitidis
(PRP-OPM) dan konjugasi dengan toksoid tetanus
(PRP-T),” jelasnya.

Pada suntikan pertama, vaksin Hib PRP-OPM dapat
menghasilkan level proteksi yang lebih cepat
dibandingkan dengan PRP-T. Namun secara keseluruhan,
setelah suntikan ke-3 maka vaksin Hib PRP-T dapat
menghasilkan level proteksi yang jauh lebih tinggi
Pemberian vaksin Hib saat ini telah direkomendasikan
WHO/PAHO dan GAVI. Untuk bayi usia 2-6 bulan
diberikan imunisasi Hib sebanyak 3 dosis dengan
interval satu bulan. Bayi berusia 7-12 bulan
diberikan vaksinasi Hib sebanyak 2 dosis dengan
interval waktu satu bulan. Sementara itu, anak
berumur 1-5 tahun cukup diberikan imunisasi Hib
sebanyak 1 dosis, dengan dosis ulangan pada umur 15
bulan. Mengingat Hib lebih sering menyerang bayi
kecil (26% terjadi pada bayi berumur 2-6 bulan dan 25%
pada bayi berumur 7-11 bulan), vaksin Hib sebaiknya
telah diberikan sejak usia 2 bulan. Vaksin Hib tidak
dianjurkan diberikan sebelum bayi berumur 2 bulan
karena bayi tsb. belum dapat membentuk antibodi.
Setelah pemberian vaksin, efek samping yang mungkin
timbul adalah demam, nyeri, atau bengkak pada tepat di
area bekas suntikan. Namun, ada produk vaksin yang
efek sampingnya dapat ditekan lebih rendah lagi.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Fransiscus, vaksin Hib
ini terbukti memiliki reaksi lokal yang rendah
sehingga mengurangi rasa tak nyaman pada anak.

Meski demikian, manfaat imunisasi masih jauh lebih
besar, mengingat sebagian penyakit masih belum ada
obatnya. Dalam hal ini, vaksin merupakan salah satu
bentuk obat yang paling aman, efektif, dan dapat
menurunkan biaya kesehatan.
Orang tua diharapkan lebih memahami berbagai jenis
imunisasi yang dibutuhkan oleh bayi karena pencegahan
lebih baik daripada mengobati. Orang tua juga berhak
menanyakan vaksin yang akan diberikan kepada bayinya,
termasuk efek samping akibatnya. Orang tua atau siapa
pun yang ingin mengetahui tentang vaksin dan
penyakitnya kini bisa mendapat akses lebih mudah
dengan membuka situs di http://www.worldwidevaccine.com.
Dengan memahami segala sesuatu sejak dini, niscaya
tingkat kesakitan dan kematian pada bayi akan bisa
berkurang secara signifikan.