10 Salah Asuh

sumber : http://www.ayahbunda.co.id/Artikel/Terbaru/Terbaru/10.salah.asuh/001/007/1101/3

Bukan cuma anak yang bisa salah. Orang tua pun bisa salah. Coba cek, apakah Anda pernah melakukan kesalahan terhadap anak saat mengasuhnya.

1. Tidak peduli kebutuhan dasar anak. Mungkin Anda mengira apa yang sudah Anda berikan kepada anak adalah yang terbaik. Sekolah mahal, mainan banyak dan selalu baru, memberinya les musik, menari, melukis. Tapi, waktu Anda untuk bertemu anak dan memanfaatkan waktu bersamanya hanya dua kali dalam enam bulan. Betulkah itu kebutuhan anak? Berikan diri Anda sebagai kebutuhan dasar anak. Berikan waktu Anda, curahkan perhatian Anda, dengarkan kisah-kisahnya yang lugu, lucu dan ajaib.
2. Perlakukan anak seperti orang dewasa. Banyak tuntutan tak masuk akal terhadap anak. Makan tak boleh berceceran, pakai baju harus match tanpa diajari, tidak boleh salah, harus cepat mengambil keputusan dan lain-lain. Anda menjadikan diri Anda sebagai standar. Tuntut anak sesuai dengan milestone atau tahap perkembangannya. Pahami tahap perkembangannya, ikuti iramanya. Pahami jalan pikirannya. Logika anak-anak jauh dari sempurna. Otaknya masih tumbuh, demikian pun fisiknya.
3. Dilayani habis-habisan. Mengambil buku di kamar, mengambil sepatu di rak sepatu atau mengambil minum di dapur harus Anda atau pengasuhnya yang mengambilkan. Ia diperlakukan sebagai bayi yang belum mampu melakukan apapun. Berikan kesempatan pada anak untuk melakukan sesuatu yang seharusnya sudah bisa ia lakukan. Bila perlu, sedikan tempat yang mudah ia gapai untuk mempermudah apapun yang ia butuhkan. Misalnya meja kecil untuk meletakkan gelasnya. Merasa diri mampu melakukan segala sesuatu sendiri, akan meningkatkan harga diri anak.
4. Tidak pernah berkata ‘tidak’. Kata “YA” selalu keluar dari mulut Anda. Bukan hanya pada sebuah pernyataan anak seperti “Gambar aku bagus, bunda?” Tapi juga untuk semua permintaannya. Ketika Anda pelit mengatakan ‘TIDAK,’ Anda tak peduli pada anak. Anda hanya peduli pada diri Anda, tak mau repot-repot konflik dengan anak. Anda tak mau berpikir, mengapa Anda mengatakan ‘tidak.’ Gunakan kata ‘YA’ dan ‘TIDAK’ secara adil. Pikirkan sebelum mengatakan ‘YA’ atau ‘TIDAK’ karena anak harus tahu mengapa dia mendapatkan jawaban itu. Terutama untuk bereksplorasi, dua kata ini sangat penting.
5. Bicara dengan bahasa yang kacau. Tidak ada standar bahasa yang jelas. Anda sesekali berkata ‘utu’ untuk ‘lucu’, ‘acih’ untuk ‘terima kasih’ atau ‘pepe’ untuk sebutan vagina. Terdengar lucu saat mengucapkan kata-kata itu, tapi jelas-jelas membingungkan anak. Bicara sesuai dengan kaidah bahasa. Ucapkan kata-kata dengan benar, tak perlu mengikuti anak bicara dengan ucapan cadel. Dia memang belum fasih bicara karena perkembangan bicaranya juga belum sempurna. Si kecil butuh role model untuk mengenal dan meniru. Jangan ragu untuk mengenalkan banyak kata kepada anak, bisa melalui lagu, buku atau film.
6. Tidak ada disiplin. Meletakkan tas sekolah di kolong meja, meletakkan sepatu di kursi tamu, ada sendok di rak buku. Menyedihkan sekali kondisi rumah si kecil. Sama seperti di jalan raya yang punya aturan, di rumah pun harus ada aturan karena aturan dibuah demi keamanan dan kenyamanan bersama. Ajarkan disiplin pada anak sejak dini. Buat daftar apa saja yang harus dipatuhi oleh semua penghuni rumah, agar semua anggota keluarga bersikap konsisten menjalaninya. Khusus untuk anak, Anda bisa membantu mengingatkannya bahwa sepatu tempatnya bukan di sofa, tas sekolah bukan di kolong meja tempatnya.
7. Tidak dituntut untuk menghormati orang tua. Demi menjaga keakraban dengan anak atau dianggap sebagai teman yang menyenangkan, Anda berperilaku seperti teman sebayanya. Atau Anda malah membiarkan si kecil memanggil Anda dengan sebutan nama atau dengan ucapkan “eh”. Tak ada batasan antara pemegang otoritas dan yang harus mematuhinya. Berlakukan konsep menghormati orang tua, apalagi Anda hidup dengan budaya timur. Mengucapkan salam saat bertemu orang lain, membungkuk ketika berjalan di depan orang yang lebih tua, sudah menjadi tata karma yang harus diikuti oleh anak.
8. Memberi hadiah berlebihan. Karena tak punya waktu untuk anak, Anda menggantikan kehadiran Anda dengan hadiah. Saat Anda sedang berjuang untuk mendorong anak melakukan yang terbaik, Anda juga memberikan hadiah yang berlebihan atau tidak seharusnya ia dapatkan. Misalnya Anda memberikan hadiah sepeda karena anak berhasil membereskan tempat tidurnya. Berikan penghargaan atau hadiah sesuai dengan usaha yang anak lakukan. Hadiah tak harus berupa benda. Ucapan atau pujian seperti “Kamu hebat” atau “Kamu pintar” dapat Anda gunakan. Fungsi hadiah sebenarnya adalah menghargai apa yang sudah dilakukan oleh anak.
9. Dibiarkan jauh dari Anda. Anda sudah ajarkan pada anak tentang siapa nama orang tuanya, tempat tinggalnya, nomor telepon Anda, atau harus menghubungi satpam bila kehilangan Anda. Tapi, bukan berarti Anda memberikan kepercayaan penuh pada anak untuk berada jauh dari jangkauan Anda. Usahakan anak selalu berada dalam pengawasan mata Anda saat berada di tempat umum. Selain Anda tidak mengetahui bahaya apa yang akan mengancam dari lingkungan, hati-hati juga dengan kemampuan logika atau berpikir anak. Kasus anak terjepit eskalator atau jatuh dari lantai atas tidak sedikit, bukan?
10. Tidak mengijinkan anak menjadi anak. Memaksakan selera atau mimpi Anda kepada anak, dilakukan para orang tua dari generasi ke generasi. Segala hal harus sesuai dengan kehendak Anda, jika tidak mau maka teror pun Anda lakukan. Misalnya menurut Anda pakaian t-shirt dengan rok jeans yang warnanya senada itu pakaian yang paling bagus untuk anak. Sedangkan menurut anak rok kotak-kotak berwarna merah dengan t-shirt kuning garis-garis sudah sangat keren. Dengarkan pendapat anak. Ia memang masih kecil, tapi tidak berarti suaranya tidak didengar oleh Anda atau orang dewasa . Saat Anda mau mendengarkan pendapatnya, ini juga menjadi cara untuk ajarkan anak belajar mendengarkan orang lain.

Jika Anak Senang CORAT-CORET Tembok

sumber : tabloidnakita.com

Arahkan dengan media yang tepat agar bakat seninya tetap berkembang.
Rasanya tak ada anak batita yang tak senang corat-coret. Pasalnya, di usia ini, anak sedang mengembangkan kemampuan psikomotorik halus. Nah, corat-coret adalah salah satu aplikasinya. Anak mencoba-coba menulis dalam bentuk corat-coret. Terlebih jika anak sering melihat orangtua atau orang terdekatnya menulis, menggambar, atau mencorat-coret, dia akan tergerak untuk meniru, “Apa yang saya akan dapatkan saat spidol ada di tangan?”
Masalahnya, si kecil bukan hanya corat-coret di buku atau kertas, tetapi juga tembok. Ya, dinding rumah yang luas layaknya kanvas tak terbatas buat anak. Di tempat itulah semua kreasi dituangnya. Bukan cuma di dinding kamar, tapi juga dinding ruang tamu sampai depan rumah. Mengapa tembok? Tak lain karena temboklah yang dilihatnya setiap hari. Media itu juga dirasakan anak cukup mudah dan luas untuk menuangkan ekspresinya. Disamping, cat tembok rumah juga biasanya berwarna terang bak lembaran kertas berukuran superbesar. Ini berbeda dengan kertas gambar yang terbatas dan kadang tak tersedia setiap waktu.
Tentunya hal ini tak mesti dibiarkan. Kalau tidak, dikhawatirkan anak tak akan tahu batasan, mana yang boleh dan tidak untuk corat-coret. Baginya, semua tembok sah-sah saja digambari. Tidak hanya tembok rumah dan ruangan tamu, tapi juga tembok lainnya, bahkan tembok rumah tetangga. Celaka, bukan?! Namun, melarang anak corat-coret di tembok tanpa diarahkan, juga sama buruknya. Sangat mungkin, anak akan tumbuh menjadi pribadi pasif yang kurang inisiatif. Bahkan, jika orangtua serba melarang, anak juga tak dapat mengungkapkan ekspresinya dalam bentuk kata-kata.

SEDIAKAN MEDIA YANG TEPAT
Jadi, harus bagaimana dong? Sebenarnya, gampang saja, kok! Orangtua tinggal mengarahkan si kecil bahwa tembok rumah bukan untuk digambari. Jelaskan hal itu pada saat orangtua membersihkan tembok yang penuh coretan si kecil. Meskipun tembok tak bisa mulus kembali seperti semula, namun hal ini sudah cukup mengajarkan kepada si kecil bahwa tembok bukanlah media yang tepat untuk digambari.
Selanjutnya, berikan media yang tepat untuk corat-coret, yaitu buku tulis atau buku menggambar. Pilihlah buku menggambar berukuran besar dan beri kebebasan pada anak untuk berkreasi sepuasnya di situ. Beberapa kertas bekas atau kalender juga bisa digunakan. Alternatif lainnya, whiteboard besar. Anak bisa corat-coret sesukanya, dan menghapusnya kemudian.
Mengapa harus yang berukuran besar? Ini karena kemampuan spasial anak belum berkembang. Dia belum mengenal dengan baik, ruang sebesar apa yang bisa menampung coretannya. Disamping, kemampuan motorik halus anak juga masih terbatas, dia belum bisa memegang pensil dengan benar dan mengarahkan coretannya dengan baik. Kadang kecil, kadang besar. Berbeda dengan orang dewasa yang mampu menyesuaikan gambar sesuai ruang yang kecil sekalipun. Coretannya juga sudah sempurna. Dengan demikian, media besar sangat tepat buat anak.
Beberapa orangtua menyediakan tembok khusus untuk dicorat-coret. Tak masalah, selama kondisinya memungkinkan. Orangtua tinggal menyediakan tembok khusus untuk corat-coret, entah di kamar anak atau di ruangan tertentu yang jarang terekspos lingkungan luar. Ada lo orangtua yang memfasilitasi anaknya menggambar di tembok. Bakat yang dimiliki disertai ketekunannya menggambar, membuatnya menjadi pelukis cilik ternama, yang meraih penghargaan nasional dan internasional. Ingat, sensasi menggambar di tembok mungkin dirasakan berbeda dengan menggambar di atas kertas.
Yang penting diperhatikan, meski orangtua menyediakan tembok khusus corat-coret, anak tetap harus diberi penjelasan dan batasan bahwa hanya tembok itulah yang boleh digambari, lainnya tidak. Selain itu, orangtua juga tetap harus mengenalkan media yang lebih tepat untuk corat-coret.

SARAT MANFAAT

Aktivitas corat-coret sangat baik untuk mengasah kemampuan motorik halus anak. Melalui aktivitas ini, anak terbiasa membuat coretan-coretan tak beraturan, lalu beraturan, membentuk gambar, lambang, dan lain-lain. Nah, ini sangat baik untuk melatih otot-otot kecil anak. Jika dilakukan terus-menerus, kemampuan ini cukup membantu saat anak diajarkan menulis maupun pelajaran keterampilan motorik halus lainnya. Agar kemampuan ini bisa berkembang, arahkan anak untuk membuat garis lurus, lingkaran, atau menghubungkan titik-titik. Pandulah sehingga seolah-olah anak sedang tak diajarkan.
Selain itu, anak juga berani mengungkapkan idenya dalam bentuk gambar. Itulah mengapa, orangtua jangan langsung memarahi anaknya saat corat-coret tembok, melainkan secara perlahan mengalihkannya ke buku gambar. Dengan demikian, anak berani mengungkapkan ekspresinya dalam bentuk gambar. Tetaplah memerhatikan si kecil saat menggambar. Ini penting agar anak tak kembali beralih ke tembok rumah.
Bagi orang dewasa, corat-coret anak adalah “sampah” yang harus segera dihapus. Tapi tidak demikian halnya dengan anak. Bagi mereka, coretan yang ditorehkan kaya dengan makna. Tak heran, anak akan membeberkan hasil karya seninya. “Ini gambar ikan, gambar sapi, mobil, boneka, bus, dan lain-lain.” Corat-coret merupakan ajang memupuk kreativitas anak. Nah, agar kreativitas ini semakin terbentuk, cobalah untuk membuka dialog tentang objek yang sedang digambar. Tanyakan, anak sedang menggambar apa, lalu apa yang terjadi dengan gambarnya.
Mengingat manfaat besar di balik corat-coret, luangkan waktu setiap beberapa hari untuk menggambar. Simpan dan letakkan juga alat tulis dan lukis di tempat yang terjangkau, untuk menghindari si kecil mencorat-coret di sembarang tempat. Jangan segan untuk memuji dan menaruh hasil karyanya di ruang tamu atau ruang lain. Dengan demikian, anak merasa dihargai. Kemungkinan untuk melukis di atas kertas pun semakin besar. Siapa tahu kelak si kecil bisa jadi seorang pelukis ternama.
Saeful Imam.
Narasumber:
Evi Elviati, Psi.,
dari Essa Consulting Group

Anak Belajar Bergaul

sumber : tabloidnakita.com

Mulailah dengan mengajak si batita ke acara-acara keluarga.
Sebenarnya, sejak bayi pun, anak sudah belajar bergaul. Hanya saja masih di lingkungan terbatas, seperti dengan ibunya, ayahnya, pengasuhnya, atau orang-orang terdekat di lingkungannya. Setelah usia setahun, umumnya si batita sudah dapat mulai dilatih bersosialisasi, namun hanya sebatas mengeksplorasi lingkungan saja. Umpama, “Ini Kakek, ayo berikan salam.” Selanjutnya, seiring usia bertambah, kemampuan bersosialisasi ini semakin berkembang dan dilakukan lebih intens lagi. Akan tetapi tuntutannya tidak terlalu tinggi. Memasuki usia 2 tahun, umumnya si batita masih berteman ke dalam rumah, yakni orang-orang yang ada di lingkungan keluarganya. Meski sesekali ia pun mulai mengeksplorasi ke luar lingkungan keluarga, namun jangan berharap ia berteman seperti yang diharapkan. Bila diamati saat si batita main bersama anak lain sebayanya, biasanya mainnya masih sendiri-sendiri.

YANG HARUS DIKUASAI
Inilah beberapa perkembangan kemampuan bergaul yang seharusnya dicapai oleh anak usia 1-2 tahun:
1. Mengenali diri sendiri di kaca atau melalui foto-foto anak tersebut.
2. Menyebut dirinya sendiri dengan nama panggilannya.
3. Bermain-main sendiri dan berusaha mencari dan menggunakan benda yang ada di sekitarnya sebagai alat permainan.
4. Meniru tingkah laku orang dewasa dalam mempermainkan mainannya, seperti dipukul-pukulkan, dilempar, dikocok-kocok, ditiup dan lain-lain.
5. Membantu menyimpan benda-benda mainan ke dalam tempat yang disediakan.
6. Mulai dapat memilih orang-orang yang dikenalinya.

STIMULASI
1. Menyebutkan keinginan anak dengan namanya.
Hendaknya ibu/pengasuh selalu menyebutkan keinginan anak sebelum melakukan sesuatu. Misal, “Ita mau minum?” Tekan-kan penggunaan nama anak ini supaya anak dapat mengulanginya. Ulangi kegiatan ini setiap kali anak meminta sesuatu sampai akhirnya anak mengerti apa yang diinginkan oleh ibunya atau pengasuhnya.
2. Bermain menirukan tingkah laku orang dewasa.
Ajak si batita ikut serta dalam kegiatan sehari-hari ibu/peng- asuhnya. Sambil melakukan kegiatan, ajak anak berbicara atau berilah penjelasan-penjelasan. Contoh, ibu sedang memasak di dapur, si batita diajak dan mintalah ia untuk mengambilkan sendok atau sayuran dan lain-lain. Atau, ajak si batita menyapu halaman dan minta ia untuk ikut menyapu dengan menggunakan sapu berukuran kecil. Kemudian, minta ia untuk memasukkan sampah-sampah daun kering ke keranjang sampah.
3. Ajak anak datang ke acara-acara keluarga.
Kegiatan ini hendaknya dilakukan dengan rutin. Umpama, sebulan sekali mengunjungi kakek-nenek atau kerabat yang lain. Kesempatan ini tetap harus diberikan dan orangtua hendak-nya tak perlu cemas bila si batita menjadi rewel. Bila ia terus-menerus rewel, cobalah untuk mencari tahu penyebabnya. Mungkin ia kaget dengan lingkungan yang ramai dan suara yang keras. Pertama-tama biarkan ia menjadi pengamat lingkungan. Jangan paksa ia untuk langsung bermain dengan sanak-saudara atau kerabat yang lain. Selanjutnya, dapat ditingkatkan pada pertemuan berikutnya. Ajak dia melakukan aktivitas bersama-sama, seperti makan bersama, berbincang-bincang, dan lain-lain meski masih didampingi.
4. Bermain bersama.
Untuk awal, lakukan kegiatan ini bersama ibu, ayah atau pengasuhnya. Contoh, sambil bermain tamu-tamuan dengan boneka. Di situ ia belajar kalau bertamu ke tempat orang lain hendaknya mengucapkan salam. Tak hanya itu, si batita pun mendapat pengetahuan bahwa bermain bersama itu ternyata menyenangkan, sehingga dapat menjadi modal bagi dirinya untuk bermain dengan orang lain.
PENTINGNYA BERSOSIALISASI
Bersosialisasi atau kontak sosial diperlukan karena berguna untuk membentuk basic trust, percaya kepada pihak di luar dirinya. Umumnya basic trust terbentuk pada orang-orang terdekat yang mengasuhnya, bisa ibunya atau malah si pengasuh bila sehari-hari anak lebih dekat dengan pengasuh. Jika diamati, ini akan jelas terlihat saat anak berusia 1 tahun. Akibatnya, ia akan menangis cemas bila ditinggal jauh oleh orang terdekatnya.
Selanjutnya basic trust akan berkembang menjadi trust, percaya. Inilah yang menjadi dasar bagi si batita mengembangkan rasa percaya diri dan keterampilan bersosialisasi. Bila rasa percaya diri terbentuk dengan baik, kelak ia akan memiliki kemampuan bersosialisasi yang baik. Sebaliknya, bila rasa percaya diri ini tidak terbentuk, kelak ia akan memiliki kemampuan bersosialisasi yang minim. Ini mungkin terjadi karena tidak tumbuhnya perasaan aman dalam dirinya semasa bayi. Misal, saat ia menangis tak ada yang segera menenangkan. Atau, malah digerutui oleh ibunya/pengasuh dan sama sekali tak mendapatkan pelukan hangat yang menenangkan. Akibatnya akan tumbuh perasaan takut atau tak nyaman dalam dirinya. Hal yang sama juga tumbuh saat bersosialisasi dengan lingkungan di luar.
TAK MAU PISAH DARI BUNDA
Bukan pemandangan aneh bila menyaksikan anak usia batita tak mau lepas dari ibu atau pengasuhnya. Bila memandangi ibu-ibu lain yang memiliki batita, Ninik kerap merasa gundah. Bagaimana tidak? Asti, putrinya yang berusia 2,5 tahun selalu minta ditemani bila diajak bermain bersama. Sementara yang lain sudah berani
sendiri dan tidak ditemani oleh orangtuanya. Jika Anda menghadapi kasus seperti ini tak perlu berkecil hati. Langkah yang sebaiknya dilakukan adalah telusuri dulu kemungkinan penyebab si kecil tak mau berpisah.
PENYEBAB
* Tidak dipersiapkan.
Bisa jadi si batita tak mau berpisah dengan orangtua atau pengasuhnya, karena tidak dipersiapkan semenjak awal. Orangtua/pengasuhnya tidak menyampaikan kepada si batita bahwa pada saat bermain bersama teman-temannya nanti, orangtua/pengasuhnya tak akan menemani. Misal, “Sambil menunggu Asti main, Ibu nanti akan pergi ke warung sebentar ya.” Namun hendaknya persiapan ini dilakukan jauh sebelum acara bermain bersama, jangan berpamitan secara mendadak. Kalau tidak, si batita tidak menyiapkan mental untuk berpisah. Selain itu, jangan lupa sampaikan bahwa nanti ibu akan kembali untuk menjemput.
* Kematangan sosial belum tercapai.
Umumnya juga disebabkan belum tercapainya kematangan sosial yang sesuai dengan standar usianya. Bisa jadi ia baru memasuki tahapan belajar untuk percaya pada orang lain, namun ia belum bisa percaya penuh. Pada saat ini ia baru memiliki rasa aman dengan sosok orangtua/pengasuhnya, sehingga ia tak mau berpisah dengan orangtua/pengasuhnya. Namun, orangtua tak perlu khawatir karena perilaku lekat ini meru-pakan suatu tahapan perkembangan yang harus dilalui setiap anak. Perilaku kelekatan ini sesungguhnya sudah “dipelajari” sejak anak masih bayi. Umumnya yang menjadi objek kelekatan anak adalah orang yang mengasuhnya sehari-hari, bisa si ibu ataupun pengasuhnya.
* Terlambat mengajak bersosialisasi.
Bisa jadi pula karena orangtua terlambat saat memulai pertama kali mengajak bersosialisasi. Misal, karena di lingkungan rumah tak ada teman sebayanya, jadi tak ada yang diajak bersosialisasi. Atau, bisa jadi karena kesempatannya sedikit; orangtua atau si pengasuh selalu mendampingi ke mana pun si anak pergi.
TIP & TRIK MENGATASI
Tak dianjurkan untuk secara drastis meninggalkan si batita begitu saja karena akan menyebabkan trauma dan membuatnya merasa tak aman lagi. Yang terbaik ialah mengajaknya berkomunikasi dengan memberikan pengertian sedikit demi sedikit. Nah, berikut ini beberapa tip dan trik yang dapat dilakukan orangtua guna mengatasi permasalahan ini.
1. Lakukan stimulasi.
Contohnya, beri kesempatan kepada si batita untuk mengunjungi kerabat atau sanak-saudara. Lakukan kegiatan ini secara rutin, niscaya si batita jadi terbiasa mengenal orang di luar lingkungan terdekatnya.
Cara lainnya adalah bermain peran menggunakan boneka dengan mengambil tema bermain bersama, misal. Selanjutnya dapat ditingkatkan dengan ditemani oleh batita yang lain. Pada tingkat berikutnya, dilakukan de-ngan manusia dewasa lain yang diundang untuk datang ke rumah dan bermain bersama, tapi orang itu bukan berasal dari lingkungan terdekatnya.
2. Integrasi secara bertahap.
Bila si kecil tetap tak mau ditinggal, jangan sekalipun me-maksa. Beri kesempatan padanya untuk melihat-lihat terlebih dahulu sambil mengenal lingkungan yang baru didatangi. Orang terdekat tentunya tetap harus mendampingi karena anak yang insecure (merasa tak aman) akan semakin tegang atau takut jika merasa ditinggalkan.
Lebih baik lagi bila pada kesempatan itu ada sekelompok anak yang sedang bermain bersama, sehingga si batita dapat mengamati pula kegiatan tersebut sebagai kegiatan yang juga menyenangkan. Mintalah ia untuk terlibat bermain bersama meski masih harus didampingi.
Selanjutnya, setiba kembali di rumah, komunikasikan dengan si batita suasana di lingkungan baru tadi. Gunakan bahasa sederhana yang mudah dipahami. Sampaikan bahwa acara tadi cukup menyenangkan.
3. Seringlah mengajaknya bermain dan mengobrol.
Minimnya keterlibatan orangtua dapat menyebabkan anak merasa insecure, sehingga ia tak punya gambaran bagaimana harus berperan di luar. Jika Anda sering mengajak bermain dan mengobrol, ia akan punya bekal sehingga ia tak begitu sulit untuk mengobrol atau bermain dengan orang lain.
4. Biasakan untuk berpamitan.
Sebaiknya, orangtua membiasakan diri berpamitan pada anak bila ingin keluar rumah. Jangan secara mendadak meninggal anak karena akan menyebabkan trauma dan anak merasa tak aman lagi. Yang terbaik ialah mengajaknya berkomunikasi, “Adek, Bunda mau pergi sebentar. Nanti Bunda kembali lagi. Adek di rumah sama Mbak ya. Mbak yang akan menjaga Adek.”
Selain itu tak jarang pula, si ibu lantaran harus segera berangkat mencoba membujuk dengan menyuruh si pengasuh membawa si kecil jalan-jalan di sekitar perumahan. Cara ini sama sekali tak dibenarkan, bisa-bisa dalam diri si batita akan tumbuh perasaan tak aman sehingga ia jadi berpikir kalau ia lengah maka akan ditinggal.
Cara lain yang cukup aman untuk meninggalkan anak adalah dengan memberi kegiatan kepada anak. Sebelum pergi, ibu ikut melibatkan diri sebentar, kemudian baru ditinggalkan. Jadi, selain anak diberikan pengertian, juga dialihkan perhatiannya. Tentunya berapa lama meninggalkan anak juga harus dilakukan secara bertahap, dari sebentar lalu diperpanjang.
5. Lakukan persiapan sebelum berpisah.
Sebaiknya anak diberi tahu jauh hari atau malam sebelumnya. Jangan pada saat ibu mau pergi, baru si anak diberi tahu. Tujuannya untuk menyiapkan mental anak bahwa ia akan berpisah dengan ibunya, tetapi anak tahu bahwa ada saatnya ia ditinggal namun ibunya tetap akan kembali.
Utami Sri Rahayu.
Konsultan Ahli:
Zahrasari Lukita Dewi, Psi.,Msi.,
dari Fakultas Psikologi Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta

Belajar Disiplin Sambil Main

sumber : tabloidnakita.com

Tak ada urat yang tegang jika Anda fleksibel terhadap si kecil.
Kemampuan berjalan membawa perubahan besar pada si batita. Lihatlah, dia begitu bersemangat menjelajah ke sana kemari untuk memahami dunia. Tangannya pun tak berhenti menjamah. Jika Anda tak paham misi si kecil, maka yang terlihat hanyalah sosok yang tak bisa diam. Maunya main dan main. Energinya seolah tak pernah habis.
Tak jarang, orangtua khawatir jika mainnya tak dibatasi, si batita akan tumbuh menjadi anak tanpa disiplin. Benarkah begitu? Tentu saja Anda harus percaya, bermain adalah cara bagi si batita untuk belajar tentang banyak hal. Aksi melompat, memanjat, atau aksi dengan tangan adalah latihan mengembangkan keterampilan motorik yang disertai koordinasi dengan mata secara simultan.
Lantas, bagaimana agar dalam dunia bermainnya itu si kecil juga belajar disiplin? Pasti bisa. Anda tak perlu kelewat sering menghentikan aktivitasnya dan memberinya segala macam batasan. Yang dibutuhkan si kecil dari Anda hanyalah pengarahan. Contohnya, ajarkan padanya permainan-permainan yang bisa mengerahkan kemampuan motorik sekaligus kognitif. Dengan bola yang disukainya, lakukan permainan memindah-kan bola dari ember merah ke ember hijau misalnya. Dengan demikian mereka bisa tetap bermain, namun aktivitasnya tetap terarah.
JADWAL AJEG
Dalam suasana bermain, per-kenalkan si batita pada rutinitas yang mencakup jadwal mandi, makan, dan tidur. Anda boleh bersikap fleksibel, tapi bagaima-napun juga konsistensi perlu dijaga. Jadi, fleksibel di sini bukan membolehkan apa yang tak boleh, melainkan menawarkan pilihan untuk tetap menikmati kesenangan sambil menjalankan rutinitas sesuai jadwal.
Ke kamar mandi, contohnya, bawalah beberapa mainannya. Dengan demikian, si kecil tidak merasa kesenangannya direnggut meski ia harus mandi. Kalau jadwal mandi ditetapkan antara pukul 4-5 sore, ya lakukanlah selalu secara ajeg di kisaran waktu tersebut. Akan sangat mendukung bila orangtua atau tokoh panutan lainnya mencontohkan hal yang sama.
Rutinitas yang diperkenalkan di usia ini akan sangat bermanfaat kelak ketika batita harus menyesuaikan dirinya dengan jadwal orang lain. Misalnya ketika ia harus sekolah, kursus atau malah bekerja. Selain itu, rutinitas ikut membentuk watak disiplin anak di kemudian hari. Tentu saja asalkan orangtua secara konsisten membiasakan anaknya pada rutinitas yang sama.
KREATIF DONG
Bila si batita tak mau sedikit pun meninggalkan aktivitas bermainnya demi rutinitas, seperti makan, mandi dan tidur, pandai-pandailah orangtua menciptakan situasi yang membuat si kecil mau beranjak. Soal makan, contohnya, untuk membentuk kebiasaan makan dengan tertib, tetaplah ajak anak duduk di kursi makan. Namun jangan mengharapkan ia mau duduk manis tanpa upaya apa pun dari orangtua.
Untuk batita awal yang masih disuapi, sediakan mainan yang bisa membuatnya asyik selama waktu makan. Sementara dengan batita akhir yang sudah mulai belajar makan sendiri, Anda sebaiknya makan bersama di meja, atau membacakan buku, bernyanyi, dan lain-lain. Pendek kata, beri dia kegiatan menarik karena baginya ada begitu banyak hal yang jauh lebih asyik untuk dieksplorasi daripada diam saja.
Begitu juga bila waktu mandi tiba. Ciptakan hal-hal menarik yang membuat batita mau dengan sendirinya, tanpa perlu ditarik-tarik untuk mandi. Ketika tiba jam mandi, contohnya, tunjukkan sabun yang bentuknya lucu-lucu. Atau siapkan beberapa gelas plastik warna yang bisa dimanfaatkannya untuk main air bersama ibu.
Bila tiba waktu tidur, ajak si batita mengenali waktu tersebut dengan cara yang mudah. Misalnya, “Kalau nanti jam di kamar berbunyi ding-dong, berarti itu waktunya kamu naik ke tempat tidur.” Pada saat jam berbunyi, bimbinglah anak ke tempat tidurnya. Bila perlu dengan mainannya. Biarkan ia bermain sejenak di tempat tidur sebelum akhirnya tertidur. Anak yang sudah lelah seharian bermain, biasanya akan mudah tertidur.
PERLU TEMAN
Anak batita perlu teman untuk bermain. Kehadiran orang lain dianggapnya memberi pengalaman bermain yang lebih menyenangkan dan bukankah orangtua merupakan teman bermain yang selalu tersedia? Bermain dengan orangtua tentu akan memperkaya ikatan batin antara orangtua dan anak. Namun ini tak berarti orangtua harus selalu menemani si batita sepanjang waktu. Sesekali ada baiknya ia dibiarkan bermain sendiri. Namun tetap dalam pengawasan.
Kala bermain sendiri, si kecil belajar bahwa kegiatan yang dilakukan seorang diri pun tak kalah menyenangkan. Selain itu, sibatita akan belajar kalau orang lain juga punya kegiatan sendiri yang “tak bisa diganggu” hanya karena ia merengek ingin ditemani bermain. Ayah dan ibu juga perlu baca koran, ibu perlu menyiapkan makanan di dapur, atau kakak harus mengerjakan PR dan sebagainya. Dengan demikian si batita akan belajar menghormati kesibukan orang lain dan mendisiplinkan diri.
Santi Hartono.
Narasumber:
Evi Elviati, Psi.,
psikolog dari Essa Consulting

Anak Belajar dari Pengalaman

sumber : tabloidnakita.com

Mengalami langsung adalah metode belajar yang paling tepat.
Banyak hal yang dipelajari si batita. Di antaranya tentang relasi dan perasaan (tentang kepercayaan, menyayangi dan empati, tentang marah, takut, iri dan dendam), tentang bahasa, dan tentang proses suatu kejadian. Dari semuanya, hal terpenting yang harus si batita pelajari adalah bahwa proses belajar itu menyenangkan.
Oleh karena itu, dukungan orangtua sangatlah penting. Dimulai dari rasa ingin tahu yang ditunjukkan oleh anak, doronglah proses belajar anak untuk memupuk sifat kreatifnya. Jika orangtua tak mendukung, maka anak akan berhenti mencari tahu karena semangatnya menyurut.
Nah, berikut ini ada 9 hal yang dapat dilakukan orangtua untuk menyuburkan rasa ingin tahu anak dan menumbuhkannya menjadi kecintaan untuk belajar selama hidup.
1. Jawablah pertanyaannya.
Karena ada banyak hal baru yang ingin diketahui anak, maka ia jadi banyak bertanya. Semua pertanyaan itu berhak mendapat jawaban yang benar sesuai nalar anak batita. Bila pertanyaannya tak dijawab atau tak mendapatkan jawaban yang memuaskan, anak akan berhenti bertanya atau menangkap persepsi yang tidak benar. Jadi, jawablah semua pertanyaannya. Gunakan bahasa yang sederhana dan singkat.
2. Masukkan proses belajar dalam kegiatan sehari-hari.
Apa pun yang dilakukan anak sehari-hari dapat menjadi bahan pelajaran baginya. Berpikirlah kreatif. Misalnya, kapan pun Anda dapat mengajarkan hitungan sederhana dan lambang bilangan kepada si kecil. “Lihat, berapa wortel yang ibu masak. Hitung yuk satu, dua, tiga.” Melalui kegiatan ini diharapkan minat si batita meluas ke berbagai bidang pengetahuan, bukannya memaksa si batita untuk langsung bisa berhitung. Minat yang luas akan mendukung proses belajarnya kelak, sekaligus melibatkan indra si batita sebagai alat belajar.
3. Dukung penjelajahannya.
Melalui proses eksplorasi atau penjelajahan, si batita belajar memahami banyak hal. Dampingi dan berikan penjelasan dengan bahasa yang mudah dipahami. Biarkan ia melakukan beragam “percobaan”. Efek sampingnya pasti rumah jadi berantakan. Namun tahanlah keinginan Anda untuk menghentikan aktivitasnya karena dapat menghambat proses belajar si kecil. Lain hal bila percobaannya membahayakan keselamatan anak, Anda bisa menghentikan, tentu dengan disertai penjelasan dampak yang mungkin terjadi. Sebagai penggantinya, sediakan percobaan-percobaan yang dapat dilakukan dalam situasi terkendali. Misal, mencampur pewarna kue di baskom, menyaring pasir dengan saringan pasir, dan lain-lain.
4. Kenalkan anak dengan berbagai pengalaman.
Pengalaman sederhana yang dialami dalam kehidupan sehari-sehari dapat memberikan pelajaran berharga bagi si batita. Tentunya asalkan orangtua memberikan penjelasan tentang peristiwa tersebut dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mungkin muncul dari si batita. Ada banyak pengalaman yang mungkin dapat ditemui, di antaranya, menanam bunga, bermain air di kolam, mencabut tanaman liar, mencampur adonan kue, menata meja, menyalakan tombol lampu, dan lain-lain.
5. Kenalkan anak dengan berbagai situasi.
Berbagai situasi yang dimaksud tentu saja semua tempat dan waktu yang dirasa aman bagi anak. Pengenalan situasi juga dapat memberikan pengalaman belajar. Contoh, museum, taman bermain, pasar, kebun binatang, kendaraan umum, restoran, rumah sakit, toilet umum dan lain-lain. Umumnya, anak menyerap banyak hal dari pengamatannya. Orangtua dapat menambahkan apa yang dipelajari anak dengan mengajukan pertanyaan dari hasil pengamatan si anak sendiri.
6. Kenalkan anak dengan daya khayal.
Daya khayal atau imajinasi perlu diperkuat sebagai bekal kemampuan anak untuk berpikir kreatif. Salah satunya melalui bermain peran yang secara alami sangat disukai anak-anak usia dini. Banyak hal akan didapat dari bermain peran, di antaranya mengasah kemampuan berbahasa, mengenali situasi dan menanggapinya, mencari solusi untuk keluar dari masalah, bagaimana berempati, dan juga melatih motoriknya. Umpama, bagaimana menjadi pedagang ikan di pasar yang harus pandai tawar menawar dengan pembeli, si pembeli tidak punya uang cukup, lihai menangkap ikan yang masih hidup, membersihkannya, menimbang, dan memberikan kepada pembeli. Kemampuan bermain peran juga menunjukkan kemampuan anak menyerap berbagai pengalaman sehari-hari.
7. Mendukung proses belajar dengan membina harga diri anak.
Agar mampu belajar, seorang anak perlu merasa senang pada dirinya sendiri. Nah, tumbuhkan perasaan bangga akan keberhasilan yang telah diraih. Karenanya, orangtua jangan sungkan memberikan pujian atas keberhasilan yang baru dicapai si batita. Selanjutnya, penghargaan berupa tepuk tangan atau pelukan hangat, misalnya, tetap diperlukan oleh anak agar ia memiliki konsep diri yang positif.
8. Buatlah agar pengalaman belajar ini menyenangkan.
Untuk menciptakan suasana yang menyenangkan, orangtua hendaknya menghindari suasana yang tidak nyaman. Misal, memaksa anak melakukan aktivitas tertentu padahal ia sedang tidak menunjukkan minatnya. Ikuti saja apa yang sedang menjadi daya tarik baginya. Ingat, menyenangkan bagi orangtua belum tentu menyenangkan bagi si batita.
9. Berikan teladan.
Tunjukkan kepada anak bahwa Anda sebagai orangtua tidak merasa terlalu tua untuk menjelajah, mencoba kegiatan baru, dan bermain peran yang dirasa konyol sekalipun dengannya. Jadikan belajar sebagai kegiatan seumur hidup. Alhasil, semangat belajar Anda akan menular pada anak.
Utami Sri Rahayu. Foto: Iman/nakita
EMOH DIAJAK KE PASAR
Pemandangan dan bau tak sedap mestinya bisa diakali.
Mengajak si kecil ke pasar ternyata sarat dengan pembelajaran. Ratusan macam benda dapat dilihatnya di satu lokasi. Dia terdorong banyak bertanya dan ingin meraba semuanya. Namun, mungkin ada satu hal yang tidak disukainya di pasar jika si kecil biasa dididik resik di rumah; itu lo pemandangan jorok dan bau yang tak sedap. Terkadang, alasan ini pula yang membuat kita malas mengajaknya ke sana. Padahal ada bagusnya juga, lo, mengakrabkan anak dengan situasi yang tidak terlalu nyaman tapi sarat pengetahuan. Ya pasar itu contohnya, supaya anak mampu beradaptasi dengan berbagai situasi.
Tentu agar dapat memetik manfaat bagi anak, orangtua pun harus bisa melihat hal-hal positif dari setiap situasi, termasuk situasi tak nyaman di pasar. Nah, bagaimana trik agar si batita menikmati acara jalan-jalannya ke sana?
1. Berikan penjelasan sebelum hari H.
Sejak seminggu sebelum hari H, berceritalah tentang serunya suasana pasar, bagaimana “petualangan” dilakukan, dan apa saja hal-hal menarik yang dapat dilihat si kecil di pasar. “Di pasar dijual ikan lele yang masih hidup, lo. Kita bisa menangkap sendiri ikan-ikan berenang-renang di dalam bak-bak penampungan. Belut juga ada. Itu binatang yang mirip ular tapi jinak dan tidak menggigit.”
2. Ciptakan serangkaian teka-teki atau permainan.
Untuk menumbuhkan rasa ingin tahu si batita, ciptakan serangkaian permainan sebelum pergi ke lokasi. Dapat berupa permainan peran atau sekadar teka-teki. Umpama, bermain peran sebagai pedagang dan pembeli. Atau, tebak-tebakan yang menimbulkan rasa penasaran si batita, seperti, “Ayo Dek, tebak, kulit ikan licin atau enggak? Nanti Adek lihat di pedagang ikan di pasar ya.” Tak ada salahnya pula si batita diajak bermain basah-basahan di taman terlebih dahulu agar tidak merasa jijik saat merasakan langsung beceknya pasar.
3. Persiapan sebelum berangkat ke lokasi.
Sebelum berangkat ke lokasi, lakukan persiapan sesuai dengan kebutuhan. Bila si batita diperkirakan tidak tahan panas, bawakan topi pelindung. Atau, bila si batita tidak tahan dengan bau amis, siapkan saputangan untuk menutup hidung. Selain itu, bila mengetahui bahwa si batita memang sama sekali tidak tahan dengan bau amis, sebaiknya hindari tempat-tempat yang menimbulkan aroma itu, seperti tempat ikan basah atau ikan asin.
4. Dampingi dan berikan penjelasan dengan bahasa sederhana.
Saat “berpetualang” di pasar, dampingi anak dan berikan penjelasan tentang situasi dan beragam pedagang yang ada, sehingga si batita mendapatkan tambahan pengetahuan. Contoh, “Ini sayuran berwarna hijau, ada bayam, kangkung, dan sawi.” Atau, “Yang ini buah-buahan berwarna kuning, ada pepaya, nanas, jeruk.” Khusus untuk batita, cukup memberikan penjelasan yang sederhana, seperti pengklasifikasian warna, bentuk, tekstur, dan lain-lain.
5. Berikan penghargaan.
Berikan penghargaan bila si batita berhasil menjawab pertanyaan saat melakukan klasifikasi. Hal itu akan memacu semangat dan meningkatkan rasa percaya dirinya. Umpama, dengan membelikan ikan kecil-kecil, makanan tradisional, atau mainan tradisional yang ada di pasar. Sekaligus untuk mengenalkan beragam mainan dan makanan yang ada di pasar.
KECERDASAN YANG DIKEMBANGKAN
Mengunjungi pasar bersama si batita pastinya dapat mengembangkan banyak kecerdasan, antara lain:
1 Kecerdasan kinestetik-jasmani
Mengajak si batita ikut menangkap ikan yang masih hidup di kios ikan sudah dapat mengembangkan kecerdasan kinestetiknya. Gerakan tangannya berusaha mengikuti gesitnya ikan berenang.
2. Kecerdasan interpersonal
Proses tawar-menawar antara pedagang dan pembeli di pasar dapat mengembangkan kecerdasan interpersonal si batita. Si batita dapat mengamati, bagaimana berinteraksi dengan orang lain.
3. Kecerdasan visual-spasial
Saat si batita mengamati aneka bentuk dan warna dari buah dan sayuran, sesungguhnya ia tengah mengembangkan kecerdasan visual-spasialnya.
TIP-TIP PENTING
1. Pertimbangkan waktu berbelanja.
Karena kegiatan ini untuk memberikan pengalaman baru kepada si batita, di pasar sebaiknya Anda tidak terlalu “heboh” berbelanja. Bisa-bisa karena si ibu mengejar target berbelanja untuk kebutuhan di rumah, si batita jadi terabaikan dan merasa tak nyaman.
2. Jangan paksa jika si batita menolak.
Saat si batita menolak ke pasar, tundalah keinginan Anda, atau alihkan perhatiannya pada hal-hal yang menyenangkan lainnya. Pemaksaaan dapat menyebabkan trauma, jera atau tak berani untuk mencoba lagi. Selanjutnya dapat dicoba lagi secara perlahan.
3. Ciptakan suasana menyenangkan.
Suasana pasar memang ramai dan terkadang becek serta bau. Untuk itu, ciptakan suasana yang menyenangkan. Umpama, membuat konsep seperti sedang berpetualang untuk mengalihkan perhatian si batita dari hal-hal yang tidak mengenakkan dan fokus pada hal-hal yang mengasyikkan.
Uut
Konsultan Ahli:
Indri Savitri, Psi.,
dari Lembaga Psikologi Terapan (LPT) UI

Anak Belajar Berdoa

sumber : tabloidnakita.com

“Tuhan makasih, aku punya ayah dan ibu yang baik, yang mau beliin aku mainan.”
Tuhan Maha Mendengar setiap hamba-Nya, tak peduli usia dan status sosialnya. Termasuk doa yang dipanjatkan seorang anak. Di usia prasekolah, anak-anak sudah dapat mengucapkan doa pendek, “Yaitu doa yang berhubungan dengan keseharian anak,” kata Rahmi Dahnan, Psi. Bisa doa karena sedang merasa senang, doa bersyukur sebelum makan dan minum, doa keselamatan sebelum tidur dan berangkat sekolah, atau doa buat kebahagiaan orangtua.
NILAI EMPATI
Bila anak menanyakan tujuan berdoa, berikan penjelasan sederhana. Katakan, berdoa sebelum makan tiada lain sebagai wujud harapan dan rasa syukur kepada Tuhan atas makanan yang diberikan, “Kita berdoa sebelum makan supaya apa yang kita makan membuat tubuh sehat. Kalau enggak makan, kamu lemas dan enggak semangat bermain, bukan?” Bagaimana dengan berdoa sebelum berangkat sekolah? “Supaya Tuhan menjaga kita selama di perjalanan dan kita selalu diberi kehati-hatian.” Memang, anak belum sepenuhnya memahami Tuhan, tapi lambat laun seiring dengan perkembangan kognitifnya, anak bisa memahaminya.
Tentu saja, anak bisa diajarkan berdoa untuk kesejahteraan orang lain. Dalam doa tersebut terkandung nilai-nilai empati. Saat kakek atau neneknya sakit, ajak anak menjenguk mereka dan berdoa untuk kesembuhan mereka. Dengan demikian, anak terbiasa peduli dengan apa yang dirasakan orang lain. Ini menjadi modal bagi kepekaan sosialnya. Ia bisa mendoakan temannya, bahkan anak-anak sebaya di jalanan yang nasibnya tak seberuntung dia.
Memang, beberapa agama sudah menetapkan doa tertentu untuk aktivitas tertentu. Pandulah dan bimbinglah sedikit demi sedikit. Pengulangan membuat informasi yang diterima tersimpan lama. Umumnya daya tangkap anak usia ini cukup baik, sehingga doa bisa dihafalnya dengan cepat, bak air yang diserap oleh spons. Pengenalan doa ini sangat baik untuk menumbuhkan rutinitas, “Inilah yang penting. Anak terbiasa berdoa sebelum melakukan sesuatu. Kebiasaan itu akan terus tumbuh hingga anak dewasa kelak.”
Meskipun begitu, orangtua tetap harus menghargai doa-doa yang dibuat anak dengan kata-kata sendiri, sekalipun doa itu pendek dan sederhana. Seiring pertambahan usianya, dengan seringnya melihat orangtua berdoa, beberapa anak 5-6 tahun dapat merangkai doa sendiri. “Umumnya, anak usia sekolah dasar awal bisa merangkai doanya sendiri dengan lebih panjang dan bervariasi,” ungkap psikolog dari Yayasan Kita dan Buah Hati ini. Dengan menghargai doa yang dibuat anak, orangtua turut meningkatkan kepercayaan dirinya, sekaligus memberikan suntikan motivasi kepada anak untuk lebih giat berdoa.
Sarat MANFAAT

Menurut Rahmi, banyak manfaat yang didapat dengan mengajarkan doa kepada anak, di antaranya:
1. Mengasah Kecerdasan Spiritual
Kemampuan anak mengenal Tuhan dan hal abstrak lain masih terbatas, tapi bukan berarti kita tak dapat mengenalkan keagungan Tuhan kepada anak. Malah, jika sejak dini dikenalkan dengan kekuasaan Tuhan, setidaknya kita sudah menanamkan bibit spiritualitas pada anak. Selain untuk menyatakan rasa syukur, berdoa juga merupakan wujud ekspresi seorang manusia yang memiliki keterbatasan dan kelemahan. Dengan berdoa kita bersiap menerima kenyataan bahwa ada hal-hal di luar kekusaan kita dan bahwa di atas manusia ada yang Maha Kuat, Maha Besar, dan Maha Perkasa. Tuhanlah yang berkehendak terhadap segala sesuatu. Memang, makanan yang terhidang adalah hasil kerja keras kita, uang yang didapat dari bekerja selama berjam-jam. Tapi jika Tuhan berkehendak, kerja keras kita boleh jadi tak menghasilkan apa-apa. Dengan membiasakan berdoa sebelum makan, anak-anak belajar mensyukuri nikmat-Nya.
2. Menambah Kepercayaan Diri
Apa yang membuat anak lebih percaya diri selain bisa menyanyi dan menari? Berdoa juga bisa, karena anak bangga jika memiliki keterampilan baru. Terlebih, jika lingkungan merespons positif apa yang dikuasainya. Saat orang lain berdecak kagum karena anak berdoa sebelum makan, anak akan bangga dan kepercayaan dirinya semakin bertambah. Ini merupakan modal bagi keterampilan-keterampilan lainnya yang bisa dipelajari anak.
3. Penting buat Tuhan
Dengan menanamkan kebiasaan berdoa, orangtua mengajarkan, anak tidak hanya penting bagi orangtua saja, tapi juga buat Tuhan. Kelak, anak akan merasa bernilai di sisi-Nya. Ia tahu Tuhan akan menjaganya. Nantinya saat beranjak dewasa, bukan tak mungkin anak akan menemukan kedamaian dengan berdoa, utamanya saat dilanda berbagai persoalan dan problema hidup.
4. Belajar Etika
Dengan berdoa, orangtua secara tak langsung mengajarkan nilai-nilai kebaikan. Saat meminta sesuatu kita harus tunduk, sungguh-sungguh, dan mengupayakannya dengan kejujuran serta kerja keras. Ini merupakan modal dasar saat anak harus mempelajari berbagai etika lainnya.
5. Menghargai Sesuatu
Dengan berdoa sebelum makan, anak diajarkan bagaimana menghargai makanan. Makanan merupakan pemberian Tuhan yang harus disyukuri, tak boleh dibuang dan disia-siakan. Begitu pula kesehatan dan nikmat lainnya.
BAGAIMANA KALAU MENOLAK?
Jangan paksa anak berdoa jika dia menolaknya, biarkan saja dan lanjutkan rutinitas berdoa Anda. Biasanya, anak merupakan peniru ulung dari orang-orang terdekatnya. Dengan banyak melihat orangtua berdoa, akan tertanam pada diri anak untuk berdoa. Anak merasa berdoa merupakan kebutuhan, bukan kewajiban yang kerap menjadi beban. Sikap memarahi justru akan membuat anak malas berdoa. Jadikan berdoa sebagai aktivitas menyenangkan, tapi juga tak melupakan kesungguhan dalam berdoa. Artinya, anak diajarkan bagaimana etika saat berdoa. Misal, si kecil tak boleh tertawa atau berlari-larian. Minta dia bersikap tenang dan khidmat. Sikap itu cermin kesungguhan anak dalam berdoa.
Saeful Imam.

Reaksi Emosi Pada Bayi

sumber : http://www.tabloid-nakita.com/

Jangan salah, bayi pun bisa menunjukkan emosinya. Entah yang baik maupun tidak. Asalkan ditangani dengan baik, reaksi emosi yang jelek tak bakalan menetap hingga besar. Sering, kan, melihat bayi menangis kala ia lapar. Sebelum diberikan susu, ia tak akan berhenti menangis, bahkan tambah keras. Tapi bila kebutuhannya segera dipenuhi, akan berhenti tangisnya.

Nah, menangis pada bayi, selain sebagai salah satu bentuk komunikasi prabicara untuk memberitahukan kebutuhan/keinginannya, juga untuk menunjukkan reaksi emosinya terhadap suatu keadaan yang tak menyenangkan. Reaksi emosi bayi yang demikian, menurut Dra. Dewi Mariana Thaib, sebetulnya masih wajar, karena si bayi bereaksi terhadap suatu keadaan yang tak menyenangkan, yaitu lapar. “Hanya saja, kalau reaksinya berlebihan, semisal menangis terus, meski sudah diberikan susu, berarti ada sesuatu pada dirinya. Apakah dia sakit atau ada suatu kelainan pada sarafnya,” terang psikolog dari RS Bunda, Jakarta ini.

Sangat penting bagi orang tua untuk mengetahui dan mengenal reaksi emosi bayinya. Sebab, reaksi emosinya ini akan berpengaruh pula nantinya pada kehidupan si anak, terutama pada penyesuaian pribadi dan sosialnya. “Di usia satu tahun pertama ini, bayi sedang beradaptasi dengan udara, makanan, dan lingkungan sekitarnya. Di usia ini pulalah emosinya mulai berkembang.” Itulah mengapa, orang tua harus memperhatikan betul kebutuhan fisik dan mentalnya, sampai sekecil apa pun.

DAPAT DIBEDAKAN

Pada awalnya, terang Dewi lebih lanjut, saat lahir, reaksi emosi bayi masih sederhana, yaitu hanya mengungkapkan emosi kesenangan dan ketidaksenangan. “Ia akan bereaksi senang bila kebutuhan menyusunya terpenuhi, dengan mengeluarkan suara yang tampak puas. Sebaliknya, ia akan bereaksi tak senang dengan menangis bila popoknya basah.”

Yang pasti, pada bulan-bulan pertama, ia tak memperlihatkan reaksi secara jelas, yang menyatakan keadaan emosinya yang spesifik. Misal, marah. Semua rasa ketidaksenangan akan diekspresikan dengan tangisan. “Nah, pada bulan-bulan pertama ini, respon orang tua terhadap bayi pun akan berpengaruh nantinya. Misal, jika pemberian susunya terlambat sementara bayi sangat lapar atau popoknya basah didiamkan saja, maka bayi akan merasa tak nyaman. Meski dia hanya bisa bereaksi dengan menangis, tapi bibit-bibit emosi rasa kecewa dan marah mulai timbul.”

Mulai usia dua bulan bayi bisa bereaksi tersenyum bila dirinya merasa senang atau gembira. Usia tiga bulan mulai bisa bereaksi dengan mengeluarkan bunyi-bunyi yang mengungkapkan kekesalan, bila dirinya kesal atau marah, semisal, dia tak bisa menggapai mainannya. Kadang juga diungkapkan dengan tangisan dan jeritan.

Usia 6-9 bulan sudah mengenal rasa takut. Bukankah saat itu ia sudah mengenal orang-orang di sekitarnya? Hingga, kalau ia ditinggal oleh orang tuanya, ia akan merasa takut dan mulai mengeluarkan suara-suara ketakutan atau menangis.

“Pokoknya, makin usia bayi meningkat, reaksi emosinya makin dapat dibedakan dan bertambah. Sebab, sejalan dengan bertambahnya umur dan semakin matangnya sistem saraf serta ototnya, bayi pun mengembangkan berbagai reaksi emosinya.” Misal, kalau di usia 2 bulan emosi kegembiraannya diungkapkan dengan tersenyum saja, maka makin lama dia bisa mengekspresikan kegembiraannya dengan mengeluarkan suara-suara ataupun tertawa kala diajak bicara oleh orang tuanya. Bahkan, ketika dia sudah bisa jalan dan berlari, bila ada timbul rasa gembira, dia bisa melonjak-lonjak atau berlari-lari.

Demikian pula dengan emosi takut. Biasanya bayi takut dengan kamar gelap, binatang, berada sendirian, serta orang yang asing baginya. Mungkin awalnya, kalau takut ia hanya bereaksi dengan menangis. Seolah dirinya tak berdaya dan seperti meminta tolong. Makin bertambah usia dan motoriknya pun berkembang, ia bisa bersembunyi di balik tubuh ibunya atau memeluk ibunya, menarik selimut untuk menutupi wajahnya, atau berlari menghindar dari sesuatu yang membuatnya takut.

Akan halnya rasa marah, misal, di usia 6 ­9 bulan, kala bayi sudah bisa melempar benda atau menghentak-hentak kakinya, ketika emosi marahnya terangsang, bisa saja reaksinya dengan melempar. Ketika reaksi tersebut dirasa menyenangkan dan dapat memuaskan emosinya, maka akan diulang kembali. “Nah, untuk mengetahui apakah si bayi memang betul-betul dalam emosi marah atau hanya ingin mencoba-coba melempar benda dalam arti dirinya sedang bereksplorasi, tentunya orang tua harus melihat, apakah memang ada kebutuhannya yang tak dipenuhi atau ada sesuatu yang membuatnya marah ataukah tidak.”

MASIH BISA DIUBAH

Jadi, orang tua harus mengetahui dan mengenal reaksi emosi bayinya, entah yang baik maupun tidak. Jangan sampai, reaksi emosi yang jelek berlanjut sampai si bayi besar. Pasalnya, nanti anak akan belajar menggunakan reaksi ini sebagai alat untuk mencapai tujuannya. Apalagi di masa-masa emosi sulit, yaitu usia 0 hingga balita. Bukankah tak jarang kita lihat, anak kecil yang kalau marah tiduran di lantai, duduk menghentak kaki, memukul, atau melempar segala macam benda?

“Sebetulnya, bila baru berusia sampai setahun, emosi bayi masih bisa berubah karena baru muncul dan baru akan berkembang,” kata Dewi. Itulah mengapa, orang tua harus tetap waspada dengan emosi bayinya. “Jika ada reaksi emosinya yang kurang baik, paling tidak, kita bisa menekannya atau meminimalkannya.” Dengan kata lain, orang tua harus melatih pengendalian diri anak sejak dini.

Tapi melatihnya harus dengan konsekuen, lo. Misal, bila bayi ingin minum susu dan menangis tak sabar, maka ibu harus segera meresponnya. Kalaupun harus membuatkan dulu susu botol, maka buatlah di dekat si bayi sambil mengajaknya bicara. Misal, “Iya, sabar, ya, sayang. Ini Ibu sedang buatkan susunya. Ibu tahu, kok, kalau Adek lapar.”

Bila si bayi sudah bisa merangkak dan kita lihat tampaknya dia kesal karena sulit menggapai mainan yang diinginkan, maka kita bantu untuk memudahkan dengan cara mainannya didekatkan. Ketika dia sudah bisa meraihnya, kita beri pujian, “Hore! Pintar anak Mama. Capek, ya? Ayo, kita duduk dulu.”

Begitu juga kalau si bayi sudah mulai banyak motoriknya, seperti bisa jalan atau lari. Bila reaksi marahnya dengan cara fisik, seperti menendang, melempar, atau memukul, maka kita harus selalu memberi pengertian. “Kalau kamu marah, tidak boleh seperti itu. Nanti kaki kamu jadi sakit kalau menendang kursi itu. Kenapa kamu marah? Bilang, dong, sama Ibu.” Jadi, anak dilatih untuk dapat mengendalikan fisiknya. Hingga nantinya kalaupun dia marah, mungkin tak sampai bereaksi berbahaya dengan fisiknya. Mungkin hanya mimik mukanya saja yang tampak memerah.

Menurut Dewi, biasanya seiring usia bertambah, reaksi emosi dengan menggunakan gerak fisik/otot makin berkurang. Apalagi ketika anak sudah bisa bicara, maka reaksi emosinya akan diwujudkan dengan reaksi bahasa yang meningkat.

JANGAN BANYAK LARANG

Namun, dalam melatih atau mendidik emosi anak, disarankan tak banyak larangan karena akan menimbulkan rasa takut pada anak. Misal, “Adek, jangan main ke situ, ada kecoa, lo. Nanti digigit!”

Sebetulnya, papar Dewi, usia bayi belum menyadari ada tidaknya bahaya bagi dirinya, tapi karena mimik muka ibunya dan nada suaranya menakutkan, maka mengkondisikan si bayi akan rasa takut. “Larangan boleh saja kalau memang ada yang membahayakan. Kalau tidak, sebaiknya dihindari.” Namun, dalam memberitahukannya harus dengan bahasa dan mimik muka yang baik.

Yang jelas, bila sejak bayi dilatih pengendalian emosi dengan baik, maka reaksi emosinya bisa ditanganinya dengan baik pula. Meski mungkin sifat jeleknya tetap ada, tapi tak terlalu menonjol. “Jadi, ini merupakan tindak pencegahan pula dari reaksi emosi negatif yang tak diinginkan.”

Ingat, lo, bila tak sejak dini kita melatihnya, maka akan sulit mengubahnya ketika anak bertambah usianya. Bahkan mungkin saja reaksi emosi tersebut akan menetap sampai si anak dewasa. Tentunya kita tak menginginkannya demikian, kan, Bu-Pak?

Dedeh Kurniasih

Jika Suka Membanding-Bandingkan Anak

sumber :http://www.tabloidnova.com/Nova/Tips/Membanding-Bandingkan-Anak

Hati-hati, lHo, si kecil bisa tumbuh menjadi pribadi yang ragu-ragu bila kerap dibanding-bandingkan. Sebaliknya, anak yang jadi bahan pembanding akan selalu merasa diri sempurna hingga sering salah arah.

Sering kita dengar, seorang ayah atau ibu membangga-banggakan anak yang satu dan menjelekkan anak yang lain. Misal, “Kakak, kok, nggak seperti Adek, sih? Contoh, tuh, Adek, kalau dikasih tahu selalu nurut , tidak seperti Kakak, ngelawan terus.”; atau, “Wah, Kakak hebat, lho, juara renang lagi, tidak seperti Adek, kalau bertanding kalah melulu. Ikut lomba menggambar aja enggak pernah menang.”

Padahal, dengan membanding-bandingkan, tutur Rahmitha P. Soendjojo , berarti orang tua tak melihat sosok si anak secara utuh. Bukankah seharusnya kita melihat anak sesuai dengan dirinya, kemampuannya? Jadi, tegas Mitha, sapaan akrab psikolog pada DIA-YKAI, Jakarta ini, kalau mau membandingkan, ya, bandingkan dengan kemampuan diri si anak sendiri. “Jangan pernah di luar jangkauan itu! Sama sekali nggak adil, dong.”

JALAN PINTAS

Memang, aku Mitha, membanding-bandingkan adalah sesuatu yang wajar dan alamiah. Orang dewasa, misal, bukankah kalau “digesek” seperti itu akan lantas panas hingga terpacu semangatnya? Tapi jangan lupa, anak bukan orang dewasa karena ia masih serba terbatas, baik fisik, kemampuan, maupun cara berpikirnya. “Anak tak akan langsung bisa mengambil keputusan untuk belajar atau berbuat manis karena pengalaman belajarnya juga belum ada.”

Sebenarnya, lanjut Mitha, keinginan membanding-bandingkan merupakan upaya orang tua untuk mencari jalan pintas. “Mereka berpikir, dengan membanding-bandingkan, anak akan lebih cepat nangkap dan ngerti sehingga jadi termotivasi.”

Jadi, dengan mengatakan, misal, “Lihat, tuh, Adek lebih pintar! Baru masuk ‘sekolah’ sudah bisa membaca. Kakak mana? Sudah TK besar tapi masih belum bisa baca juga.”, orang tua berharap si kakak akan “terbakar” semangatnya untuk juga bisa pintar membaca seperti adiknya. Tapi pada kenyataannya, belum tentu dengan perbandingan itu anak akan termotivasi seperti harapan orang tua. Ingat, kemampuan dan cara berpikir anak masih terbatas.

“Bisa jadi ia malah bingung, gimana caranya, ya, supaya aku bisa lancar membaca.” Lagi pula, orang tua sebenarnya tak berhak, kok, “mengadili” anak dengan membanding-bandingkan. Apalagi bila selama ini orang tua tak pernah melatihnya belajar membaca. “Anak, kan, bisa belajar bukan take it for granted atau datang begitu saja sejak lahir.

Meski IQ-nya sejenius Einstein, misal, tapi bila ia tak pernah diperkenalkan dengan huruf sama sekali atau apa yang mesti dipelajarinya, ya, nggak bakalan bisa.” Seharusnya, bilang Mitha, orang tua mencari apa yang jadi penyebab anak belum juga bisa lancar membaca, bukan malah menyoroti ketidakmampuannya dengan membanding-bandingkan.

Jadi, bukan memvonis, tapi menggali potensi sekaligus mencari solusi bagaimana mewujudkan harapan agar si kakak bisa lancar membaca. Dengan begitu, dalam diri si kakak otomatis akan terpancing kesadaran, “Oh, iya, Bunda benar. Mungkin aku kurang giat belajar, jadi enggak bisa baca.”

Lain hal bila orang tua sudah mengajarinya membaca atau mengenalkan teknik-teknik belajar yang efektif, sementara si anak tak mau belajar atau menerapkannya hingga akhirnya ia jadi tak lancar membaca. Baru, deh, orang tua boleh omong atau berkomentar, “Kakak, kok, belum juga lancar membaca, sih?” Tapi tetap caranya bukan membanding-bandingkan dengan anak lain.

TAK PERCAYA ORANG TUA

Jikapun orang tua sampai harus membanding-bandingkan, menurut Mitha, boleh saja kalau hanya sesekali. Namun harus diingat benar bagaimana mempergunakan kalimat saat membanding-bandingkan. Jangan mengatakan, “Lihat, tuh, adikmu!”, tapi katakan, “Adek manis, ya, hari ini, mainnya pinter, enggak berantem.”

Soalnya, kalimat kedua sama sekali tak akan membuat anak yang dibanding-bandingkan langsung KO, “karena yang dijadikan bahan perbandingan adalah perilaku atau perbuatannya, bukan dirinya.” Jadi, bukan melabelkan anak, tapi lebih menunjukkan mana perbuatan yang benar dan tak benar.

Kendati demikian, Mitha lebih setuju bila kita tak membanding-bandingkan anak dengan siapapun. “Lebih baik orang tua menggali apa yang belum dilakukan buat anak, apa yang belum diajarkan kepada anak, dan mengapa belum menggunakan potensi yang dimiliki anak.”

Kemudian, minta anak untuk menerapkan teknik-teknik yang sudah diajarkan orang tua agar bisa melihat sejauh mana efektif-tidaknya buat anak. Jadi, kalau ingin si kecil mampu lancar membaca seperti adik atau teman ‘sekolah’nya, misal, ajarkan dan latihlah dia, ya, Bu-Pak. Pasalnya, tutur Mitha, bila anak kerap dibandingkan, akan merusak perkembangan kepribadiannya. Entah perbandingan itu diucapkan oleh orang tua maupun orang lain semisal kakek-nenek atau bahkan tetangga; baik didengarnya tanpa sengaja maupun langsung, “dampaknya sama saja!” tegas Mitha.

Bukankah dengan membandingkan berarti kita tak menghargai anak sebagai individu seutuhnya? “Selain harga dirinya hancur, ia pun akan kehilangan rasa percaya pada orang tuanya, merasa terabaikan, dan tumbuh menjadi pribadi yang selalu ragu-ragu.” Akhirnya, bila perbandingan itu terus dilakukan, membuat anak punya penghayatan bahwa dirinya memang seperti yang “dituduhkan” itu.

Soal parah-tidak dampaknya tersebut, menurut Mitha, tak bisa diukur dengan pasti, “tergantung kepribadian anak sebagai manusia yang juga punya mekanisme pertahanan.” Yang perlu diingat, dengan ber-sharing membeberkan kekurangan anak kepada orang lain, berarti kita telah memberi kontribusi pada orang lain untuk memberi penilaian sekaligus perlakuan negatif pada anak.

“Semakin sering atau semakin banyak orang yang memberi penilaian semacam ini tentu akan semakin
merugikan buat anak.” Buat anak yang jadi bahan pembanding, dampak buruknya juga tak kalah membahayakan, lho. “Ia bisa tumbuh jadi anak sombong, cepat puas diri, selalu merasa diri sempurna, hingga seringkali salah arah.” Selain, karena ia selalu dianggap baik, bukan tak mungkin saat berperilaku buruk pun tetap dianggap baik, hingga ia jadi tak belajar untuk menyadari kapan ia berbuat salah.

Padahal, anak harusnya belajar, di antara kebaikan-kebaikan yang dipersepsikan orang tuanya, pasti juga ada keburukan dan ia pernah “terpeleset” atau berbuat salah. “Nah, bila orang tua tak jeli memantau, keburukan dan kekurangannya akan terlewat begitu saja. Tak hanya itu, karena pembenaran dari orang tuanya untuk dirinya juga banyak, anak jadi tak belajar berempati pada orang lain, termasuk belajar memahami ada orang yang salah. Bila keterusan, bisa jadi ia akan menganggap dirinya tak pernah salah hingga tak pernah mendengarkan orang lain.

PERSAINGAN TAK SEHAT

Yang tak kalah buruk, dampaknya terhadap hubungan persaudaraan. “Sangat mungkin muncul persaingan tak sehat di antara kakak-adik,” ujar Mitha. Apalagi bila yang satu begitu dipuja-puja seolah tiada cacat celanya, sementara yang satunya disalah-salahkan terus. Akibatnya, bisa jadi anak yang dibandingkan terus akan cari gara-gara bagaimana caranya untuk “menyingkirkan” saudaranya yang dianggapnya sebagai saingan.

Tentunya ini akan merusak tatanan lingkungan keluarga, termasuk kepribadian anak dan hubungan persaudaraan jika orang tua tak mencermati persaingan “sakit” ini dan membiarkannya terus berlarut. Terlebih bila anak yang dibandingkan tak pernah mendapat kesempatan untuk mengekspresikan kekecewaan dan kemarahannya, “bukan tak mungkin ia akan melakukan agresivitas dengan merusak atau menyakiti saudaranya yang dianggap pesaingnya.”

Nah, agar kondisi yang sangat merugikan ini tak terjadi, saran Mitha, tanamkan pada anak bahwa berbuat salah bukanlah suatu aib. Tekankan, siapa pun bisa dan boleh berbuat salah. Bukankah berbuat salah itu wajar sekali karena sangat manusiawi? Tak hanya anak, orang tua pun pasti akan berbuat salah. Yang penting, bagaimana ia mau memperbaiki diri dari kesalahannya. “Jadi, bukan berbuat salah lantas dibiarkan tanpa ada penjelasan atau bimbingan.

Anak harus tahu bagaimana cara memperbaiki kesalahannya,” tukas Mitha. Selain itu, sebagai orang tua, kita pun harus mudah meminta maaf pada anak kalau kita memang salah. Misal, “Tadi Mama marah berlebihan, ya, sama Kakak. Mama, kok, sampai main pukul, sih. Harusnya, kan, enggak boleh. Mama tadi kesel banget, sih.”

Penghiburan macam ini akan membantu anak mengurangi rasa sakit hatinya dan anak pun akan menyimak, bila ia tahu ia berbuat salah, maka ia akan meniru ibunya untuk tak segan-segan minta maaf. Dengan demikian, ia juga belajar bertoleransi pada kekurangan dan bahkan membantu saudaranya yang tak “sebaik” dirinya. Jadi, Bu-Pak, pinta Mitha, janganlah pernah membanding-bandingkan anak dengan siapa pun; baik dengan kakak/adik, kerabat, maupun anak tetangga.

Coba, deh, kembalikan pada diri sendiri. Kita pun nggak akan senang, kan, kalau dibanding-bandingkan? Pasti ada rasa terluka, marah, sebal dalam hati meskipun kita lebih pandai menyembunyikan rasa tak suka tersebut. Hanya saja, dibanding anak, ekspresi pada orang dewasa bisa lebih terkontrol hingga kita tak langsung marah-marah.

GUNAKAN STANDAR OBJEKTIF

Tentunya, agar kita bisa memotivasi anak tanpa harus membanding-banding, maka kita harus bisa mengerem mulut untuk tak membandingkan dan lebih memberikan dukungan. Misal, dengan menyediakan bahan-bahan untuk belajar membaca dan mendampinginya saat belajar. Tapi jangan paksa si kecil yang berusia balita untuk tiap sore duduk di hadapan Anda belajar membaca secara kaku, lho.

Bukannya ia termotivasi, malah tersiksa. Soalnya, buat anak balita, belajarnya baru dalam tahap pengenalan. Makanya, Mitha minta agar orang tua memahami perkembangan anak. “Tak perlu sampai mendalami psikologi perkembangan anak, cukup dengan belajar memahami proses tumbuh kembang anak bahwa di usia sekian yang wajarnya itu harus sudah bisa apa.” Jadi, kita harus aktif mencari tahu dari berbagai sumber.

Kemudian, yang digunakan adalah standar objektif, yakni kemampuan-kemampuan yang ada pada si anak sesuai tahapan usianya; bukan standar sosial. Malah akan jadi masalah baru bila kita sampai membandingkan si kecil yang berusia 4 tahun belum bisa baca dengan anak usia 2 tahun yang “kebetulan” sudah hapal nama-nama presiden sedunia, nama-nama menteri, dan lainnya.

Jadi, kenalkan pada hal-hal yang sifatnya mendasar dulu seperti huruf, angka, bentuk, dan warna. Yang tak kalah penting, jangan pernah langsung punya harapan terlalu tinggi. Misal, “Anak ini sudah diajarin dua kali, kok, belum bisa-bisa juga, sih!” Yang namanya anak, tentu ia butuh banyak waktu untuk mempelajari sesuatu hal; tak bisa hanya satu-dua kali.

Lagi pula, yang dipentingkan bukan hasil tapi prosesnya. Jadi, pesan Mitha, jangan pernah menekankan kata “harus” bahwa “anak harus bisa”, melainkan selalu kembali pada konsep tugas orang tua, yaitu memfasilitasi kemampuan anak, “Saya harus mencari cara sedemikian rupa dan sebanyak mungkin agar anak mampu mengenal hal seluas mungkin.”

Justru kalau kita menekankan “anak harus bisa”, maka yang terjadi adalah kita cepat frustrasi sementara anak jadi tak berkembang. Selain hal-hal tersebut di atas, kita pun harus lebih mengutamakan hal-hal positif. Meski mencari hal-hal positif pada siapapun pasti lebih susah ketimbang mencari kejelekannya. Jadi, biasakan untuk melihat hal positif. Jikapun ada yang salah bagi kita, cobalah kemukakan kritik dengan cara lebih santun dan efektif, bukan membandingkan. Sekarang kita jadi semakin paham, ya, Bu-Pak, betapa tak adilnya membanding-bandingkan si kecil dengan saudaranya maupun anak lain.

GALI PERASAAN ANAK

Kendati di rumah kita tak pernah membanding-bandingkan si kecil, bukan berarti ia tak akan mengalaminya, lho. Bisa saja tetangga atau kenalan yang kenal baik dengan keluarga kita akan memunculkan perbandingan itu. Nggak apa-apa, kok. Toh, penting juga buat anak untuk tahu ia dinilai seperti apa.

Hanya saja, pesan Mitha, dari masukan-masukan itu, kita perlu menggali perasaan anak dan membimbing ia mengelola perasaannya agar perbandingan itu tak berdampak buruk. Misal, “Kakak sedih, ya, dibilang malas sementara Adek dibilang rajin? Kakak sendiri merasa malas atau rajin? Menurut Kakak, malas itu seperti apa, sih?” Dengan begitu, ia bisa menilai dirinya sendiri berdasarkan masukan-masukan tadi.

BANTU DIRI SENDIRI

sumber : tabloidnakita.com

Apa saja yang semestinya sudah mampu dilakukan anak usia 3-5 tahun untuk membantu dirinya sendiri?
Menolong diri sendiri adalah kemampuan dan keinginan melakukan segala sesuatu sendiri. Disingkat bantu diri atau self help. Bantu diri di usia prasekolah mencakup aktivitas makan, mandi, berpakaian, buang air kecil dan buang air besar sendiri. Namun, kalau Anda berpikir bahwa semua kemampuan itu akan muncul dengan sendirinya, tentu saja itu tidak tepat. Tanpa dilatih sejak dini, anak-anak tidak akan tahu bagaimana harus membantu dirinya sendiri.
Keterampilan mengenakan baju, contohnya, dapat mulai dilatihkan sejak usia 2 tahun. Sebagai langkah awal, kenalkan dulu aneka jenis pakaian, dari kaus oblong, T-shirt, sampai kemeja berkancing. Setelah itu lanjutkan dengan mengenalkan celana pendek dan celana panjang. Sedangkan kepada anak perempuan, selain kaus, kemeja dan celana, kenalkan juga rok dan gaun padanya.
Selanjutnya, mulailah dengan mempraktikkan hal yang paling mudah terlebih dulu. Di usia 3 tahun, misalnya, diharapkan ia mulai bisa meneroboskan lengannya pada lengan kemeja. Setelah itu belajar memakai rok atau celana karet. Selanjutnya, masih dibutuhkan ketekunan dan kesabaran ekstra saat membimbing si prasekolah agar terampil manarik ritsleting dan mengancingkan bajunya.
Untuk menyenangkan buah hati tercinta, lakukan latihan sambil bercerita, bermain, dan bernyanyi. Ciptakan lagu-lagu dengan syair sederhana yang memuat cara-cara sederhana membuka dan mengancingkan baju, sehingga anak dengan mudah dapat mencernanya. Kegiatan menarik ritsleting dan mengancingkan baju sekaligus akan mengasah kemampuan motorik halusnya.
Awalnya sangat mungkin akan terkesan berantakan. Bila ini yang terjadi, biarkan. Tak perlu terpancing untuk memarahinya ataupun kelewat memaksakan “nilai-nilai” orangtua mengenai kerapian dan kepantasan. Biarkan saja ia bereksplorasi terlebih dahulu. Dukung anak jika berhasil dan segera betulkan jika ia keliru tanpa perlu menyalahkannya.
Yang terpenting, berikan kesempatan kepada anak untuk mencoba disertai keyakinannya bahwa orangtua akan memberi perhatian penuh sekaligus menciptakan rasa aman. Jika anak merasa nyaman, ia akan menjalani proses pembelajaran ini dengan lancar. Kalau saja sejak usia batita bantu diri telah diperkenalkan secara konsisten, maka di usia prasekolah, sudah selayaknya anak mampu melakukan aktivitas bantu diri dengan baik.
CIKAL BAKAL KEMANDIRIAN
Hebatnya, keterampilan bantu diri merupakan cikal bakal kemandirian anak. Jika anak tumbuh menjadi pribadi mandiri berarti ia memiliki sejumlah kelebihan, di antaranya:
* Tak perlu bergantung sepenuhnya pada orang lain hanya untuk melakukan kegiatan fisik maupun pengambilan keputusan. Berarti ia mampu menyelesaikan tugas sekaligus mengemban tanggung jawabnya tanpa mengandalkan bantuan orang lain.
* Tak mudah panik bila menghadapi situasi baru/berbeda sebab ia terbiasa mengerjakan segala sesuatunya sendiri.
* Tumbuh menjadi individu kreatif karena ia banyak menelurkan ide baru.
* Tak mudah frustrasi setiap kali mengalami benturan atau menemui kesulitan karena ia senantiasa tertantang untuk mencoba memecahkan persoalannya sendiri.
* Tumbuh menjadi pribadi yang disukai dalam pergaulan berkat kemandirian dan kematangan yang ditunjukkannya. Contohnya, mampu dengan cepat menyelesaikan tugas kelompok tanpa merecoki teman-teman anggota kelompoknya.
* Rasa percaya dirinya berkembang optimal karena setiap kali berhasil menguasai kemampuan tertentu, maka nilai positif dalam diri anak akan bertambah. Perlu diingat, pembentukan self esteem antara lain didapat melalui penguasaan keterampilan. Yang pasti, pribadi mandiri mampu mengem-bangkan apa yang menjadi nilai positif dalam dirinya.
* Keterampilan motoriknya berkembang dengan baik mengingat anak terbiasa melakukan segala sesuatunya sendiri. Contoh sederhanya, ia terampil menulis karena terbiasa menggunakan jari-jarinya untuk mengerjakan tugasnya secara mandiri.
Masalah: masih disuapi Target Anda Strategi
Contohnya, usia anak kini 4 tahun. Jika disuruh makan sendiri sampai habis lama sekali. Kemungkinan besar karena di usia batita orangtua dan pengasuh tak cukup sabar mendampingi anak belajar makan secara mandiri. Selain itu, sering kali anak dianggap hanya mengotori meja makan dan area sekitarnya. Anak bisa makan sendiri. – Belajarlah bersabar ketika mendampingi anak makan sendiri.
– Dampingi anak sambil makan bersama. Ceritakan hal-hal yang menyenangkan tentang makanan yang sedang dimakan dan lain-lain.
– Berikan porsi yang kira-kira dapat dihabiskan anak sambil makan sendiri.
– Lontarkan pujian bila si prasekolah bisa menghabiskan makanannya.
– Buatlah agar tampilan makanannya menggugah selera, bisa dari resepnya ataupun cara penyajiannya.
– Bersikaplah konsisten untuk membiarkan anak makan sendiri.
TUGAS SEDERHANA
* Mengenakan baju
Memasuki usia 4 tahun, anak sudah mampu memakai baju sendiri. Bila mengenakan kaus, ia pun sudah dapat membedakan mana bagian depan dan mana bagian belakang, sehingga tidak lagi terbolak-balik. Bahkan, ia mulai terampil mengancingkan kemejanya.
* Mengenakan sepatu
Awalnya, pilihkan sepatu berperekat. Selanjutnya bimbing ia agar mampu mengenakan sepatu bertali sederhana. Proses mengikatkan tali sepatu sekaligus merupakan ajang latihan bagi kemampuan motorik halusnya.
* Makan
Memasuki usia 4 tahun anak mampu makan sendiri dan menggunakan peralatan makan dengan benar. Seyogyanya ia juga sudah paham mengenai disiplin waktu makan sekaligus apa saja aturan di meja makan. Contohnya, tidak boleh menghambur-hamburkan makanan, mengunyah sambil mengeluarkan bebunyian, duduk bermalas-malasan, makan di sembarang tempat atau sambil berjalan-jalan seenaknya. Selain itu, anak juga mestinya sudah mampu mengambil makanan untuk dirinya saat di meja makan.
Seiring bertambahnya usia, tingkatkan keterampilannya dengan memberi pengetahuan tentang kebiasaan makan sesuai adat di keluarga besar. Misalnya saja, kebiasaan makan tanpa menggunakan alat atau langsung dengan tangan. Orangtua tak ada salahnya mengajarkan kebiasaan itu. Dengan mendapat pengetahuan dan kepercayaan untuk melakukannya, ini akan menumbuhkan rasa percaya diri anak. Hasilnya, kelak ia bakal mampu menyesuaikan diri dengan etiket makan di manapun.
* Aktivitas di kamar mandi
Mandi, buang air besar, buang air kecil dan membersihkan sesudahnya adalah aktivitas bantu diri di kamar mandi yang sudah dapat dilakukan anak usia prasekolah. Sebelumnya, anak sudah dapat dilatih untuk bisa mencuci muka dan tangannya.
Namun dengan alasan keber-sihan, tak ada salahnya orangtua sesekali mengontrol cara mandi dan membersihkan diri anak. Khusus untuk anak perempuan, ingatkan untuk membasuh kemaluannya dari arah depan ke belakang dan bukan sebaliknya, terutama usai buang air besar. Jangan lupa, jelaskan alasannya dengan bahasa sederhana, yakni agar kotoran dan kuman yang mungkin tertinggal di anus tidak terbawa ke vagina.
Tahapan berikutnya, bimbing juga anak untuk mengeringkan alat kelaminnya dengan tisu atau handuk kecil yang bersih agar tidak lembap. Jika sudah, bimbing ia untuk mengenakan kembali celananya dan merapikan penampilannya. Saat memakai celana, mintalah anak untuk berpegangan pada dinding kamar mandi agar tidak terjatuh akibat ketidakseimbangan tubuhnya.
KALAU TERLAMBAT
Bila keterampilan bantu diri ini belum dikuasai di usia prasekolah, sebaiknya orangtua segera mengubah sikap. Boleh jadi karena selama ini anak tidak diberi kesempatan untuk melatih dirinya. Jadi, segeralah ciptakan tugas-tugas sederhana dan bimbinglah dia saat melakukan tugasnya.
Sangat mungkin proses belajar bantu diri yang baru dimulai di usia ini makan waktu lebih lama. Apalagi jika anak sudah terbiasa mendapat pelayanan penuh dari orangtua, pembantu atau pengasuh, karena motivasi anak harus dibangun lebih dulu. Namun, berbekal kemauan dan kesabaran, cara-cara membantu diri dapat diajarkan. Lakukan secara perlahan dan bertahap dari aktivitas yang paling mudah, seperti menaruh piring di tempat cucian, sampai yang kompleks seperti mandi sendiri. Jangan lupa, sertakan contoh di setiap latihan agar motivasinya tumbuh dan anak benar-benar memahaminya sebelum masuk ke langkah berikut. Kuncinya, lebih baik terlambat daripada tidak. Tanpa keterampilan bantu diri, anak akan mengalami banyak hambatan.
Santi Hartono.
Narasumber:
Sani B. Hermawan Psi.,
psikolog dan Direktur Lembaga Pelatihan Daya Insani

Jika Anak TELEDOR

sumber : tabloidnakita.com

Biasakan anak untuk beres-beres sendiri setiap usai menggunakan barang.
Sering kan si prasekolah mempertanyakan di mana mainannya atau barang-barang lainnya miliknya? Ketika dia ingin bermain dengan bonekanya atau mobil-mobilannya, dia tak menemukan mainan tersebut di kotaknya. Atau, ketika dia hendak memakai sandal, ternyata cuma ada satu, sementara pasangannya entah di mana.
Ya, ini salah satu perilaku yang nyebelin dari anak usia ini, “menyimpan” barang-barang atau mainannya di sembarang tempat. Ada yang tercecer di antara rerumputan di halaman rumah, tersembunyi di balik bebatuan, teronggok di kolong tempat tidur atau bahkan di sudut dapur, dan sebagainya. Belum lagi barang/mainan yang tak jelas nasibnya. Barang/mainan itu biasanya baru ditemukan setelah ada aktivitas “bersih-bersih” rumah.
Sebenarnya, perilaku si prasekolah yang demikian dapat dimaklumi. Pasalnya, kemampuan mengingat anak 4-5 tahun belum berkembang optimal. Tak heran, anak usia ini bak seorang manula yang sudah pikun. Berangkat bersepeda, tapi pulang ke rumah dengan berjalan kaki. Sepedanya diletakkan di mana, dia tidak tahu. Begitu juga dengan nasib mainannya yang sehabis bermain langsung dilupakan.
Meskipun wajar, bukan berarti kita boleh terus membiarkan barang/mainan milik si kecil hilang satu per satu. “Sejak dini, orangtua dapat mengajari anaknya agar bisa bertanggung jawab terhadap semua barang atau mainan miliknya,” kata Rahmitha P. Sandjojo, Psi., dari Buah Hati Preschool, Bogor.
Bila anak dibiarkan saja hidup berantakan, bukan tak mungkin dia akan menjadi sosok yang teledor, pribadi yang jorok. Menyimpan barang di mana saja, juga tak bertanggung jawab terhadap barang miliknya. Tak heran jika dia sering lupa di mana barang miliknya disimpan/diletakkan. Kelak jika bekerja di kantor, dia tak terbiasa mengelompokkan file-file yang ada di mejanya, dan mejanya pun tak pernah rapi.
Selain itu, anak juga tak bisa menghargai hak milik. Dia main serobot barang milik orang lain. Dia juga tak pernah menolak jika barangnya dipinjam teman atau orang lain. Tak peduli apakah barangnya kembali atau tidak, rusak atau utuh. Tentu kita tak ingin hal itu terjadi pada si buah hati, kan? Oleh karenanya, psikolog yang akrab disapa Mitha ini menganjurkan orangtua agar sejak dini mengajari anak untuk beres-beres seusai bermain.
WADAH YANG MUDAH
Di rumah, mulailah dengan mengajari anak membereskan mainan seusai dimainkan. Cuma, jangan lupa, sediakan kotak untuk menyimpan mainan. “Banyak anak enggan membereskan mainan karena tak disediakan tempat atau wadahnya, atau tempat menaruh mainannya bergonta-ganti sehingga membuat anak bingung ke tempat mana bonekanya harus disimpan dan ke tempat mana balok-baloknya disimpan,” beber Mitha.
Jika mainannya kelewat banyak, sediakan beberapa kotak dengan model atau warna berbeda. Lalu bagilah, mainan mana yang masuk kotak A dan mainan yang masuk kotak B. Misal, mainan A khusus untuk mainan berukuran kecil sedangkan kotak B bisa menampung boneka besar dan mainan berukuran besar lainnya. Kenalkan secara berulang-ulang setiap hari sehingga anak paham. Cara ini secara tak langsung mengajarkan klasifikasi sederhana, menyimpan barang sesuai dengan tempatnya, dan ini memudahkan anak saat mencari mainannya.
Berikutnya, ajak anak membereskan mainan. Berikan contoh terlebih dahulu, “Mainan mobilmu disimpan di kotak biru ini, ya.” Kemudian, biarkan anak mengambil mainannya untuk disimpan ke dalam kotak. Beri pujian ketika anak berhasil melakukannya, dan terus berikan motivasi hingga semua mainannya dibereskan. Lakukan secara bersama-sama. Agar anak berkonsentrasi penuh, tegaskan, dia tak boleh bermain atau menonton film sebelum semua mainannya dibereskan. Di sisi lain, orangtua juga harus mengedepankan sikap sabar. Bagaimanapun, anak memerlukan waktu tidak sebentar untuk membereskan mainan.
Meski terlibat langsung dan memberi contoh, namun jangan terlalu banyak membantu atau malah akhirnya membereskan sendiri mainan itu tanpa melibatkan anak. Bila ini yang terjadi, anak justru akan merasa keenakan sehingga akhirnya enggan membereskan mainan. “Mengapa aku harus membereskan mainan? Toh, ada Mama yang bisa membereskannya dengan cepat.”
TANPA PAKSAAN & ANCAMAN
Jelaskan pula manfaatnya jika mainannya disimpan rapi. “Kamu tidak perlu bersusah payah lagi saat mencari mainan. Selain itu, jika mainannya berantakan, kamu bisa terluka atau terpeleset karena mainannya terinjak. Mainanmu juga bisa rusak jika diletakkan di sembarang tempat.”
Hindari cara-cara memaksa atau mengancam, “Ayo, bereskan mainan! Jika tidak, Mama enggak membelikanmu mainan lagi.” Itu tidak hanya membuat anak semakin ogah membereskan mainan, tapi juga memiliki konsep yang salah tentang mengapa dirinya harus membereskan mainan. Bukan supaya rapi dan lebih bertanggung jawab, melainkan agar dirinya dibelikan mainan baru. Banyak anak yang enggan membereskan mainan, salah satunya juga dikarenakan ajakan yang tak bersahabat ini.
Sebenarnya, tanggung jawab yang sama juga diajarkan di “sekolah”, baik playgroup maupun taman kanak-kanak. Untuk playgroup, beberapa “sekolah” yang menganut sistem sentra menerapkan aturan main. Salah satunya, anak bebas mau bermain di mana, apakah di sentra balok, sentra musik, sentra ibadah, dan lain-lain. Di setiap sentra anak diharuskan merawat dan menjaga mainan. Plus tak boleh berpindah sentra jika mainan di sentra sebelumnya belum dibereskan. Ini secara tak langsung mengajari anak bertanggung jawab, sekaligus belajar membereskan mainannya sendiri. Tanpa ketergantungan dan bantuan orang dewasa.
CARI TERUS SAMPAI KETEMU
Bagaimana jika anak lupa atau benda miliknya tertinggal? Tugas orangtua adalah merunut kembali aktivitas yang dilakukan anak. Jika sepedanya tertinggal, tanyakan anak tadi bermain di mana saja. Rumah A, lapangan B, dan seterusnya. Ajak anak untuk terus mencari sampai didapat kembali sepedanya. Itu merupakan bentuk tanggung jawab anak terhadap barang miliknya. Sedapat mungkin hindari mencari sepeda itu tanpa disertai anak. Jangan sekali-kali memarahi karena tak membuat anak langsung teringat, juga tak membuatnya tergerak mencari sepedanya sendiri. Yang ada justru anak takut dan enggan mencari sepedanya.
Hal lain yang perlu diingat, jadilah contoh dalam kerapian dan tanggung jawab. Ingat, anak cepat meniru apa yang dilakukan orangtuanya. Jangan heran melihat anak berantakan jika kamar orangtuanya sendiri berantakan. Atau, anak tak memedulikan mobilnya rusak karena orangtua sendiri tak peduli dengan handphone-nya yang diletakkan sembarangan. Bagaimanapun, contoh dari orangtua memang lebih “mujarab” ketimbang berjuta kata!
Saeful Imam.

Jika Anak Tidak Mau Berbagi Mainan

sumber : tabloidnakita.com

Jelaskan, berbagi itu sangat menyenangkan dan menguntungkan.
Memang, tak mudah mengajarkan berbagi kepada anak. Jangankan membagi kue yang dimiliki, meminjamkan mainan pun sulitnya minta ampun. Itu karena ego anak masih tinggi. Ia berpikir hanya untuk dirinya sendiri, sedangkan kebutuhan orang lain tak penting buatnya. Ia juga sangat posesif terhadap semua barang miliknya. Coba saja lihat apa yang dilakukannya saat orangtua menggendong atau membonceng anak lain. Itu juga berlaku buat mainan miliknya.
Masalahnya, di usia ini anak mulai berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, baik teman-teman di rumah maupun “sekolah”. Sehingga ketidakmauan anak untuk berbagi, jelas bisa membuatnya dijauhi teman-teman, disamping berpotensi menjadi seorang dewasa yang egois. Itulah mengapa, anak harus diajarkan berbagi.
MENYENANGKAN & MENGUNTUNGKAN
Jelaskan kepada si kecil bahwa berbagi itu menyenangkan. Banyak anak tak mau berbagi karena menganggap berbagi itu tak menyenangkan. Padahal, faktanya tidak selalu demikian. Berbagi justru sangat menyenangkan. Anak bisa bertukar mainan dengan teman-nya. Bukankah anak sangat tertarik dengan mainan yang baru dikenalnya, juga dia cenderung bosan dengan mainan miliknya? Inilah yang perlu dijelaskan orangtua, “Kalau kamu mau meminjamkan robot Power Rangersmu, kamu bisa memain-kan mobil pemadam kebakaran yang bagus itu.”
Selain itu, anak juga ogah berbagi karena merasa makanan miliknya berkurang. Jika dia mau berbagi kue, maka jatah kuenya yang tadinya ada dua menjadi tinggal satu. Nah, agar anak mengerti manfaat berbagi, pada tahap awal, berbagi bisa dila-kukan dengan pertukaran. Anak A bisa membagi kue kismisnya ke si B, sedangkan si A bisa mendapat kue brownies. Dengan cara itu, anak merasa berbagi tidaklah merugikan justru mengun-tungkan, karena dia bisa mendapat dua kue dengan rasa berbeda. Untuk tahap selanjutnya, sangat mungkin anak mau berbagi meski dia tak langsung mendapat “imbalan” dari temannya.
Hal menyenangkan lainnya dari mau berbagi adalah banyak teman. Lewat bergaul dan berinteraksi dengan lingkungan, membuat anak semakin paham, berbagi itu menjadi modal untuk bergaul. Anak bisa belajar sebab akibat dari lingkungannya. Jika dia tak mau berbagi, dia akan dijauhi teman-temannya. Sebaliknya, jika dia mau berbagi, dia akan memiliki banyak teman.
TIDAK MEMAKSA
Namun dalam mengenalkan konsep berbagi atau mengajarkan berbagi, hindari pemaksaan. Banyak kan orangtua yang mengenalkan konsep berbagi dengan agak memaksa? Yang paling sering, tanpa minta izin terlebih dahulu, orangtua langsung mengambil mainan anak dan meminjamkannya kepada sang teman. Ini jelas akan melukai harga diri anak karena hak-haknya tak dihormati. Begitu pun bila orangtua berkata, “Ayo, bagi cokelatmu kepada Adi, ya.” Ingat, berbagi juga ada etikanya. Kita harus minta minta izin terlebih dahulu.
Selain itu, si pemilik barang juga punya hak untuk menolak meminjamkan barangnya. Apalagi di usia prasekolah, anak sudah sadar konsep kepemilikan, mana mainan miliknya dan mana pula mainan teman. Dia juga sudah mengenali barang atau benda yang dimiliki orangtua, pengasuh, dan orang-orang terdekat lainnya. Jadi, anak pun berhak menolak berbagi, tentunya dengan alasan-alasan yang dapat diterima. Contoh, anak khawatir mainannya akan rusak. Ini diperkuat oleh pengalamannya minggu lalu, saat rambut bonekanya lepas seusai dipinjamkan. Dalam hal ini, dengan keengganan anak untuk berbagi, justru akan menumbuhkan tanggung jawab anak terhadap semua mainan miliknya. Atau, mainan itu adalah mainan mahal favoritnya atau yang didapat dari kerja keras seperti menjuarai lomba tertentu.
Pemaksaan lain yang juga kerap dilakukan orangtua adalah mengancam anak jika menolak berbagi. “Kalau kamu tidak mau membagi cokelat itu kepada temanmu, Mama tidak akan membelikan cokelat lagi besok.” Pada kondisi ini, anak mau berbagi bukan karena dorongan dari dalam dirinya, melainkan takut oleh ancaman orangtua. Dalam jangka pendek, cara ini dirasa efektif; anak langsung menjadi sosok pemurah, yang mau membagikan barang atau makanan miliknya. Tapi bisa dibayangkan dampak jangka panjangnya, anak akan tumbuh menjadi pribadi pelit karena merasa berbagi itu tidak menyenangkan.
Jadi, jangan sekali-kali memaksa anak untuk berbagi. Anak kadang memerlukan waktu untuk bisa berbagi dengan teman sebayanya. Suatu saat, bukan tak mungkin dia bisa mencontoh bagaimana asyiknya berbagi dari temannya. Yang penting, tak ada kata bosan dalam “kamus” orangtua untuk mengenalkan konsep berbagi pada si buah hati.
HAL LAIN yang PERLU DILAKUKAN
Selain menghargai hak-hak anak alias tanpa pemaksaan, orangtua juga perlu melakukan hal-hal berikut:
1. Mulai dari sosok terdekat.
Mengajarkan berbagi bisa dimulai dari keluarga. Saat ada satu kue di rumah, potonglah kue itu sejumlah anggota keluarga lalu bagi-bagikan, satu potong untuk ayah, ibu, kakak, dan si kecil. Selanjutnya, ajari anak berbagi dengan temannya. Saat berbelanja di toko mainan, misal, orangtua bisa membelikan anak dua balon, lalu katakan, “Satu balon untukmu dan satu balon lagi buat temanmu.”
2. Jelaskan batasan.
Di usia ini, anak tak tahu batasan berbagi. Tak heran, ada anak yang bak dermawan membagikan semua barang miliknya kepada teman. Bahkan, dia sendiri sampai tak menikmati/memiliki barang tersebut. Jika punya lima permen, maka kelimanya dibagikan habis kepada semua temannya. Orangtualah yang harus menjelaskan, jika anak memiliki lima permen, maka 3-4 permen itu bisa dibagikan kepada temannya. Sisanya, bisa dinikmati sendiri.
3. Bergiliran.
Berbagi tak selalu identik dengan makanan atau mainan, tapi juga hal lain seperti bergiliran saat hendak main ayunan, bergantian kala bermain games, dan lain-lain. Ini terlihat sepele tapi penting, karena bisa menekan ego anak yang sedang tinggi-tingginya. Semakin rendah ego anak bisa ditekan, maka kemungkinan anak bisa berbagi semakin besar.
4. Lakukan lewat cerita.
Banyak sekali buku cerita yang menjelaskan pentingnya konsep berbagi kepada anak. Cerita sangat efektif dalam mengajarkan berbagi kepada anak. Dengan menceritakannya secara berulang-ulang, anak akan sadar pentingnya berbagi.
Saeful Imam.
Narasumber:
Yunita P. Sakul, Psi.,
dari Essa Consulting Group, Jakarta